Sabtu, 27 November 2010

Sekeping Semangat Menuju Deutschland

“Congratulations! You have been selected to participate in the 5th Greifswald International Students Festival 2010”, surprise rasanya saat melihat pesan itu di email yang saya buka lewat handphone sambil berjalan ke luar laboratotium setelah praktikum farmakologi. SMS pun mulai berdatangan dari teman-teman yang berasal dari universitas lain yang sama-sama ikut seleksi, baik dari yang lolos seleksi maupun dari yang tidak lolos. Perencanaan pun saya buat mulai dari mengatur jadwal pembuatan paspor, visa, mencari dan membuat list sponsor, melihat jadwal akademik, mencari informasi seputar Greifswald dan Jerman mulai dari mencari informasi harga tiket pesawat, transportasi dalam kota di Jerman, temperatur di kota tersebut saat festival nanti, dll.

Saya belajar di sebuah fakultas yang tidak sedikit orang tahu betapa padatnya jadwal praktikum di fakultas saya ini. Sehingga ketika saya menceritakan tentang hal ini kepada salah seorang di bagian kemahasiswaan, tanggapan yang keluar bukan memotivasi bahkan cenderung menurunkan semangat dengan cara mengingatkan saya akan jadwal praktikum dan kuliah saya yang padat juga jadwal UAS yang sebentar lagi akan berlangsung sehingga lebih tidak mengizinkan untuk pergi. Ya, saya pun menyadarinya. Tetapi semangat saya tak mudah untuk dipadamkan karena toh dulu pun saya pernah diingatkan untuk tidak aktif di lembaga kemahasiswaan di luar fakultas dengan alasan kekhawatiran menurunnya nilai akademik saya. Tapi saya memberanikan diri untuk belajar dimana pun karena yang bertanggung jawab terhadap diri saya adalah diri saya sendiri dan saya selalu berfikir bahwa tidak semua hal dapat dipelajari di kelas ataupun di laboratorium.

Grup ”Indonesia Delegates for Gristuf 2010”saya buat untuk mencari mahasiswa Indonesia yang lolos seleksi. Disinilah awal perkenalan saya dengan teman-teman dari satu universitas dan dari universitas lain yang diterima. Grup ini cukup ramai dengan diskusi-diskusi mulai dari waktu pemberangkatan, apa yang akan ditampilkan saat malam kebudayaan, makanan khas Indonesia yang akan dibawa, mencari teman yang memilih workshop yang sama, serta sharing tentang pembuatan visa karena katanya pembuatan visa Jerman tidak semudah pembuatan visa ke negara lain.

Semester ini cukup padat dengan praktikum. Hampir tiap hari praktikum bahkan sampai sore, kecuali hari jumat tidak ada praktikum tetapi jadwal kuliah sangat padat dan juga tak lupa aktivitas organisasi. Sampai saya baru menyadari ternyata waktu pembuatan visa sudah sangat mepet. Saya putuskan untuk meluangkan waktu untuk bikin visa. Tak lupa pesan tiket pesawat ke travel via telepon. Siang itu tiba-tiba tercetus untuk langsung pergi ke travel itu yang berada di sekitar thamrin untuk ngambil surat asuransi perjalanan sebagai salah satu persyaratan membuat visa karena rencananya hari senin pagi saya akan langsung pergi ke kedubes Jerman. Siang itu saya langsung berangkat, rencana sore pulang lagi ke Jatinangor dengan sudah pertimbangan kemacetan Jakarta. Tiba di lebak bulus, kendaraan yang terpikirkan adalah naik bus way, meski lebih cepat naik ojeg, tapi saya sungguh tidak berani untuk naik ojeg di kota ini. Cukup lama dan cukup melelahkan dengan kemacetan Jakarta yang sudah tidak asing lagi. Tidak sesuai rencana, saat magrib tiba saya masih di bus way. Saya baru tersadar saya sendirian saat itu, tak pernah saya pergi tanpa keluarga atau teman yang menemani. Rasa khawatir pada diri sendiri mulai singgah. Apalagi setelah beberapa orang yang ngajak ngobrol saya bilang ”sendirian ya? Hati-hati saja” dengan nada yang semakin membuat saya khawatir.

Tidak ada kata lain selain Bismillah dan bertegur sapa lewat sms dengan sahabat dekat untuk menghilangkan kekhawatiran. Belum sampai di thamrin, Hp lowbath. Tiba di halte busway tepat depan Bank Indonesia. Keluar halte bis sangat sepi dan langsung mencari-cari tempat travel itu sambil bawa tas dan map yang berisi persyaratan. Akhirnya sampai juga di sebuah kantor travel. Asuransi pun dibuat dan langsung diprint. 19.00 langsung pulang. ”eh sebentar itu hp masukin dulu ke tas, tidak boleh keluar dulu sebelum hp dimasukan, biasa suka ada yang jail ” kata-kata mbak-mbak yang di travel itu semakin meningkatkan kadar kekhawatiran terhadap diri saya. Lari-lari saya naik bus way sampai akhirnya saya tak sanggup untuk keluar halte bus way karena semakin larut. Beberapa menit kemudian sahabat saya pun datang menjemput dan rasa aman dalam diri saya kembali normal.

Hari senin pun tiba. Pagi-pagi saya berangkat. Langsung naik bus way dari kampung rambutan. Saya naik bus pertama yang maju pagi itu dengan penumpang yang masih kosong dan jalanan belum macet. Tetapi di perjalanan bus way tiba-tiba mogok. Celotehan-celotehan dengan nada marah dari para penumpang pun mulai terdengar. Saya berusaha tetap duduk santai meski dalam hati pun bertanya kenapa bis yang saya tumpangi yang mogok, padahal banyak bus way lainnya. Pas banget, sangat menguji kesabaran. Terpaksa harus nunggu bus way lain lewat. Bus way lain lewat dengan penumpang yang sangat penuh. Yah tidak apa-apa berdiri juga yang penting nyampe. Itu hal pertama yang terpikirkan. Sekitar 2 jam saya harus berdiri dengan tas yang lumayan berat ditambah map yang penuh dengan arsip. Pundak ini sangat pegal dan telapak tangan sudah memarah karena selama itu berpegangan ke tali pegangan bis. Sungguh diluar kebiasaan. Jam setengah sembilan sampai di halte depan BI. Membuat surat asuransi untuk pulang dan membuat kartu ISIC (International Student Identity Card) untuk dapat diskon harga tiket peswat. Disana bertemu dengan Ari (mahasiswa UNJ) yang juga peserta Gristuf yang katanya baru dari kedubes dan disuruh pulang lagi karena ukuran foto yang salah. Ternyata foto saya pun ukurannya salah. Harus sangat teliti. Seharusnya gambar muka 80% ini  malah 70%, juga ukurannya harus 4,5 tidak boleh 4,6. Cukup lama membetulkan ukuran foto di percetakan foto sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul 10.00. Saya dan teman saya langsung pergi ke kedubes. Hanya sekitar 5 menit dari sini. Dan antriannya sudah sangat panjang. Pukul 11.20 waktu penutupan permohonan visa, sehingga ketika saya masih ngantri di depan kantor itu, saya pun tak sempat masuk karena waktu sudah menunjukkan pukul 11.30. Terpaksa saya harus tinggal di Jakarta satu hari lagi. Langsung saya telepon orang tua menanyakan saudara yang rumahnya paling dekat dengan Jakarta Pusat. Tepat setelah shalat ashar, saudara menjemput untuk pergi ke rumahnya.

Setelah sholat subuh saya langsung sipa-siap untuk berangkat dengan harapan dapat antrian paling awal. Di rumah saudara itu sudah cukup ramai setelah subuh ini. Ya, optimis datang lebih awal ke kedubes apalagi diantar. Tetapi optimis itu mulai hilang saat saudara saya ngajakin masak dulu, selanjutnya ngajakin ngobrol-ngobrol dulu yang membuat waktu semakin siang. Rasa cemas mulai datang saat mereka ngajak saya untuk bersilaturrahmi ke rumah mertuanya. Langsunglah saya tolak karena saya harus berangkat pagi-pagi, bukan bermaksud tidak ingin bersilaturrahmi. Rasa cemas semakin meningkat karena saya harus ikut. Ya, memang disana hanya sebentar saja, tetapi itu cukup menambah waktu semakin siang. Sampai akhirnya jam 7.00 saya baru diantar.  08.30 sampai di kedubes. Ternyata memang benar perkiraan saya, antrian sudah sangat panjang, meski tidak sepanjang hari pertama. Kembali mulai cemas lagi. Khawatir tidak sempat masuk. Mulailah otak saya memperhitungkan perbandingan orang yang keluar dengan orang yang masuk ke kantor itu sampai akhirnya perhitungan saya mengatakan bahwa saya tidak akan bisa masuk lagi dengan antiran saya yang masih di belakang. Dan memang, saya tidak sempat masuk, 11.30 pukul  permohonan pengajuan visa pun ditutup. Saya dekati pintu untuk nanya-nanya ke satpam, tapi seperti hari kemarin, kepala visanya turun bule itu mengusir kami yang masih berkerumun di depan kantor kedubes ”please move now”,  untuk yang kedua kalinya saya mendengar kata-kata itu, sepertinya bule itu tiap hari mengeluarkan kalimat itu kepada pengunjung kedubes yang tak kebagian masuk.

Harus kemanakah kaki ini melangkah. Sambil mempertimbangkan apakah saya balik lagi ke Jatinangor atau tetap stay di Jakarta, saya berjalan ke pinggir gedung kedubes itu mencari tempat berteduh. Tepat di pinggir bundaran HI saya istirahat sejenak sambil melihat air mancur di bundaran itu. Cukup meneduhkan meski suhu disana sangat panas hingga wajah terasa terbakar. Tapi istirahat berakhir seiring mendekatnya orang gila ke posisi dimana saya berdiri, dengan tatapannya yang seperti akan menerkam saya, saya langsung lari tak peduli apakah dia mengikuti atau tidak. Sampailah saya ke kerumunan orang. Saya duduk sejenak dan menenangkan diri di taman dekat kedubes itu dan orang gila itu embali ke posisi asalnya. Barulah disana saya bisa berfikir jernih dan saya putuskan untuk kembali ke kedubes lagi besok dengan pertimbangan jika ditunda lagi, visa saya akan terlambat diproses.

 Akhirnya saya naik busway dan naik angkot menuju rumah teman yang rumahnya paling dekat dengan kedubes. Ya, memang hanya 15 menit. Teman pun menunggu di deket Jembatan casablangka. Saya naik angkot dan turun sesuai arahan teman saya itu, yaitu di Baso casablangka karena katanya itu sangat terkenal dan hampir semua supir angkot tahu letaknya, ”bang ke baso casablangka ya” kata saya, ”siap mbak”, kata supir angkot. Tak lama kemudian supir angkot pun bilang ”disini mbak turunnya”, agak ragu karena tak ada tukang baso disana, ”mana bang baso casablangkanya?”, ”biasanya disini mbak tapi mungkin nggak dagang”. Saya turun dengan keragu raguan karena tukang angkot itu menunjukkan tempat tukang baso casablangka tepat depan Bank Mandiri, mana mungkin ada tukang dagang disana pikir saya. Akhirnya saya beritahukan keberadaan saya, sambil minum jus mangga untuk meredakan tenggorakan yang sangat kering. Menunggu 1 jam tak kunjung datang teman saya. Dan ternyata memang dugaan saya benar, ternyata memang tidak ada tukang baso di depan Bank itu, dan jembatan casablangka masih lumayan jauh dari itu. Tak tahu apa tukang angkot itu membohongi atau memang dia tidak tahu, ada-ada saja. Tapi ah ga mau pusing yang pasti sekarang secepatnya ketemu teman saya itu karena hp pun mulai menunjukkan tanda lowbath. Langsung naik angkot dan akhirnya turun setelah jembatan casablangka. Akhirnya kami bertemu juga. Langsung saja kami pergi ke tempat baso casablangka yang sebenarnya untuk mengisi perut yang dari tadi pagi belum diisi apapun.

Keesokan harinya saya kembali lagi ke kedutaan itu. Jam 05.30 saya berangkat dari rumahnya dan tepat pukul 06.45 saya berada di depan kedutaan Jerman dan mendapat antrian ke 25. Antrian pun semakin siang semakin panjang dengan orang-orang yang pernah saya temui dua hari yang lalu. Ada dokter spesialis yang akan menghadiri seminar, apoteker yang akan memberi laporan ke kantor yang di Jerman, ada anak muda seumuran saya yang akan pergi ke Jerman hanya utnuk jalan-jalan, dll. Akhirnya saya bisa masuk ke kantor itu pada pukul 10.00. Pemeriksaan persyaratan begitu ketat, dari mulai cara pengisian formulir, surat undangan dari panitia GrIStuF, paspor, tiket pesawat, bahkan sampai foto. Tidak sedikit orang bulak balik datang ke kedubes Jerman dengan alasan persyaratan kurang atau ada yang salah misalnya kesalahan pada foto yang seharusnya 4,5 tapi 4,6 atau alamat yang akan dikunjungi yang dianggap kurang jelas. Alhamdulillah persyaratan yang saya ajukan tidak ada kekurangan sedikitpun sehingga saya langsung mendapat jadwal tanggal pengambilan visa. 25 Mei. Jadwal pengambilan visa tepat dengan tanggal pemberangkatan. Lumayan menghkhawatirkan.

Selain persiapan paspor, visa, dana, dan keperluan lainnya, saya mempersiapkan bahan diskusi sesuai workshop yang saya pilih di festival yaitu tentang ”Biopiracy and Intellectual Property”. Persiapan dimulai dari pencarian bahan di internet, membaca buku, diskusi dengan salah satu dosen di Fakultas Farmasi, hingga diskusi dengan seorang pakar Hak Kekayaan Intelektual di Universitas Padjadjaran yaitu Ibu Miranda Risang Ayu SH, LLM, PhD sebagai dosen hukum sekaligus kepala UPT HAKI Unpad.
Siang itu, setelah mengikuti perkuliahan di Jatinangor, saya langsung melesat naik damri ke Dipati Ukur untuk menghadiri talkshow tentang HAKI dengan pembicara Ibu Miranda yang bagi saya akan cukup menambah pengetahuan saya untuk bekal diskusi nanti di Jerman. Acaranya sudah dimulai satu jam yang lalu, disana tampak ramai, peserta yang hadir hampir semua mahasiswa fakultas hukum, tak ada yang saya kenal disini, tapi cuek saja toh mereka tidak akan memperhatikan saya. Saya duduk di kursi paling belakang di tempat talkshow itu, terlihat ibu Miranda sesekali melirik saya ketika saya datang. Saya perhatikan apa yang dibicarkan di talkshow, sesekali melihat sekeliling. Pergi ke tempat registrasi melihat informasi-informasi dan nulis presensi. Sudah saya duga, isi presensi itu semua mahasiswa Hukum dan bahkan sepertinya menjadi presensi perkuliahan. Saya melihat buku-buku keluaran terbaru tentang HAKI, ada satu buku yang membuat saya tertarik dengan isi tentang HAKI yang dikemas dalam bahasa yang ringan dan saya berencana untuk membelinya setelah talkshow selesai. Tibalah sesi tanya jawab. Semua yang bertanya itu mahasiswa fakultas hukum. Saya mengacungkan tangan untuk bertanya dengan rencana tak akan bilang identitas saya (fakultas saya) karena saya merasa terasing disana. Tapi rencana saya gagal ketika saya maju untuk bertanya, ibu itu malah menceritakan tentang saya termasuk fakultas saya. Serempak peserta talkshow melirik ke arah saya dibarengi dengan tepuk tangan yang cukup membuat saya rasanya ingin tiba-tiba menghilang dari tempat itu. Meski saya tahu itu sebagai tanda apresiatif mereka. Saya pun melanjutkan pertanyaan saya seputar hukum international Haki.  Beberapa menit kemudian saya kembali dipanggil ke depan untuk menerima buku tentang Haki. Senang rasanya mendapat buku yang saya inginkan dan gratis pula, untung tadi saya belum beli, lirih saya dalam hati.hehe....akhirnya talkshow pun selesai dilanjutkan dengan penampilan artis nggak tahu artis mana yang pasti ketika disebut-sebut namanya, serempak orang-orang menyebut namanya sambil tepuk tangan, dan saya langsung beranjak pergi seiring artis itu naik ke panggung karena saya harus melanjutkan diskusi dengan ibu itu di ruangannya.

<span>25 Mei  2010</span>
Sebelum pemberangkatan ke Jerman, saya pergi ke kedubes Jerman untuk mengambil visa, sesuai jadwal pengambilan yang diberikan oleh petugas kedubes tanggal 25 mei pukul 13.00. pengambilan visa pun tak kalah panjangnya dengan pengajuan permohonan visa. Saya pun sudah memprediksi sehingga saya datang lebih awal yaitu sekitar pikul 10.00 dan saya mendapat antrian awal. Betapa degdegannya detik-detik pengambilan visa karena sangat tidak lucu sudah dianterin keluarga tapi tidak jadi berangkat dengan alasan visa ditolak. Rasa degdegan mulai hilang saat saya mulai membuka paspor dan disana sudah ada cap visa shengen tanda bahwa permohonan visa saya diterima. Saya langsung pergi ke bandara Soekarno-Hatta. Dan langsung mencari-cari teman-teman yang berencana berangkat bareng. Berkumpulah 8 delegasi Indonesia dengan universitas yang berbeda-beda, UGM, UNJ, UII, UI. Penerbangan menggunakan pesawat Qatar pukul 16.30, transit di Doha sekitar pukul 12.30 malam. Sekitar pukul 13.30 penerbangan ke Jerman dan sampai di Berlin tanggal 26 mei 2010 sekitar pukul 08.00. Perjalanan sekitar 20 jam, cukup melelahkan.

<span>26 Mei 2010</span>
08.00 tiba di airport Tegel, Berlin. 20 jam perjalanan menuju Jerman termasuk transit membuat tubuh agak sulit seimbang ketambah bawa ransel yang penuh dengan souvenir untuk dibagikan pas acara dan koper gede. Belum terasa berada di Jerman karena suhu udara di dalam airport yang masih hangat, meski banyak orang-orang bertubuh tinggi dan berkulit putih serta berjubah eropa berlalu lalang. Sebelum berangkat ke tempat acara di kota Greifswald, saya bersama teman-teman Indonesia lainnya pergi ke KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Berlin. Meski sangat mendadak tetapi mereka begitu baik menyambut kami. Dari airport Tegel ke KBRI naik bis sekitar 15 menit turun di stasiun Haufbanhof,  jalan kaki mencari letak KBRI. Sekitar 2 jam kami berkeliling daerah tempat kami turun bis, tapi KBRI tak kunjung ketemu hingga hampir putus asa karena merasa begitu lelah dan harus bawa koper kesana kemari. Malu karena baju sudah sangat kusut dan ekspresi wajah sudah tidak menentu. Akhirnya tibalah di KBRI dan mendapat sambutan dari dubes disana, bangga rasanya saat saya menoleh ke sebuah tulisan yang berada di dinding “Selamat Datang di Rumah Indonesia”. Disana kami istirahat sejenak, bercerita, menanyakan transportasi yang efektif untuk bepergian di sekitar Jerman, minta jadwal sholat, ikut ngecas hp, ikut scan, makan siang bersama serta ngobrol-ngobrol bersama pihak KBRI terutama dubes bidang pendidikan yaitu pak Yul. Sepertinya kami sangat merepotkan. Pukul 13.00, saatnya berkeliling kota Berlin dengan menggunakan kereta lokal, melihat Brandenburger (symbol pemersatu Jerman Barat dan Jerman Timur), sungai spirits. Foto-foto itu hal yang paling penting. Perjalanan di Berlin sangat singkat karena harus segera berangkat ke Greifswald. Berlin-Greifswald sekitar 3 jam naik kereta dari stasiun Haufbanhof. Tiba di stasiun Banhof di Greifswald pukul 21.30 dengan masih terang seperti jam 5 sore di Indonesia. Ketika kami semua akan turun dari kereta, setiap orang membawa koper besar, memerlukan beberapa menit untuk menurunkannya keluar sehingga ketika teman-teman yang 6 orang sudah turun, tinggal saya dan teman saya dari UGM yang akan keluar dari kereta, tiba-tiba pintu kereta tertutup, saya coba pijit tombol untuk membuka pintu, tetapi pintu tidak bisa dibuka dan kereta pun terus maju. Paniklah. Tak ada yang bisa dilakukan selain duduk tertunduk. Hal pertama yg terpikirkan yaitu pergi ke tempat masisnis. Tapi kami pun menyadari kami berada di gerbong yang tengah.bahkan deket gerbong belakang tak mungkin kami sampai ke tempat masinis. Kami mencari pegawai keretanya mengadu nasib dan kami kami harus turun di stasiun selanjutnya yaitu Stralsund, sekitar 30 menit dari Greifswald. Pukul 22.00 kereta tiba di Stasiun Stralsund dan kami segera naik kereta lain yang akan menuju ke Berlin.  Namun saat akan naik kereta, penjaga kereta menolak kami untuk naik tetapi setelah kami menjelaskan kejadian yang sebenarnya, akhirnya kami pun diperbolehkan untuk naik kereta itu. Jadwal pemberangkatan kereta pukul 22.02, dan kereta pun berangkat sesuai jadwal yaitu 22.02. Sangat tepat waktu. Kereta yang menuju Berlin itu berhenti di stasiun Greifswald dan kami pun langsung disambut panitia di stasiun. Check in di pusat informasi (Info Point) Gristuf yang nama tempatnya yaitu ikuwo. Disana saya bertegur sapa dengan teman-teman Indonesia yang lebih dulu datang dan dengan peserta dari Negara lain. Saya mendapat informasi untuk selama festival serta langsung diperkenalkan dengan host saya dan roommates saya yang senasib dengan saya di kereta tadi.
<span> </span>
<span>27 Mei</span>
Pagi pertama di Greifswald. Sangat disorientasi waktu dan suhu. Suhu disana sangat..sangat dingin…140C hingga 80C.. Notes pertama dari host saya karena pagi-pagi kami tak sempet ketemu “ Good morning ! Please enjoy the volls and the pastes. Put the glasses back in the fridge please. Have a nice day !. Hari pertama festival, belum memasuki workshop, masih pendekatan antar peserta dan dengan panitia, penjelasan seputar kegiatan-kegiatan, serta keliling Greifswald bersama-sama peserta lainnya. Cukup banyak yang saya pelajari. Lampu lalu lintas bagi pejalan kaki membuat saya cukup bangga pada negara ini. Membuat semuanya menjadi teratur, mungkin tingkat orang yang tertabrak mobil itu sangat jarang disini. Kedisiplinan warga Jerman dalam membuang sampah yang begiru tertib hingga dalam satu rumah itu rata-rata memiliki 4 tempat sampah (untuk sampah plastic, organic, botol, dan paper). Alur jalan bagi sepeda dan bagi pejalan kaki pun sangat rapi dan terpisah sehingga tak ada yang saling mendahului. Dan untuk belanja di sebuah minimarket, harus siap-siap tas sendiri karena tidak akan diberi kantong keresek karena perhatian mereka yang bagitu besar akan global warming. Tak ada sampah berserakan disana atau sungai yang penuh air warna hitam yang dipenuhi botol-botol kosong.

<span>28 Mei</span>
Acara hari ini mulai dengan workhop. Semua peserta disebar dan berkumpul sesuai tema workshop yang diambil. Hari pertama workshop yaitu perkenalan, games, dan diskusi pendahuluan seputar Biopiracy and Intellectual Property. Peserta workshop ini sekitar 13 orang yang dipimpin oleh dua orang team leader. Peserta worksop terdiri dari berbagai negara yaitu Pakistan, Ukraina, Rusia, Moskow, Jerman, Azerbaizan, dan lain-lain. Workshop dipimpin oleh team leader yang bernama Philipp yaitu mahasiswa tingkat akhir jurusan Biomatematika Universitas Greifswald dan Frithjoff mahasiswa tingkat akhir jurusan Biokimia Universitas Greifswald. Perkenalan dimulai dengan nama dan negara asal serta menunjukkan letak negara masing-masing pada peta dunia yang telah dipasang di dinding. Pada kesempatan ini pun saya mengenalkan berbagai daerah wisata di Indonesia. Kebanyakan orang berasal dari Negara eropa yang tidak terlalu jauh letaknya dengan Jerman. Mereka sangat kaget melihat jarak yang begitu jauh antara Jerman-Indonesia ketika saya tunjukan letak Indonesia pada mereka serta saya sebutkan sekitar 20 jam untuk menuju Jerman. Suhu pada hari itu sekitar 150 C, suhu yang sangat dingin hingga ketika kami bercanda di sela-sela workshop team leder berkata “Indonesian is freezing” karena melihat saya kedinginan. Diskusi dimulai dengan pengertian yang sebenarnya tentang Biopiracy dan intellectual property, contoh kasus, sharing kasus masing-masing negara. Workshop hari ini berakhir pukul 17.30 dan dilanjutkan makan malam bersama seluruh peserta GrIStuF yang bertempat di Menza. Acara dilanjutkan dengan “official ceremony”, yang terdiri dari pengenalan panitia serta sambutan dari beberapa pimpinan Universitas Greifswald.

<span>29 Mei </span>
Hari ini hanya saya yang datang tepat waktu pada workshop kali ini. Di tempat itu sudah ada kedua orang team leader. Saya dan team leader bertukar cerita diluar pembahasan workhop. Hidangan minuman tak pernah ketinggalan. Kopi, coklat, Soya milk dan air hangat cukup membuat hangat meski tak sampai menaikkan suhu tubuh. Beberapa menit kemudian peserta dari negara lain pun berdatangan, dari Ukraina, Moscow, dan sebagainya. Workshop dimulai dari jam 08.30 dengan pembahasan seputar paten. Tak lupa games diselipkan di sela-sela workshop untuk mengurangi kepenatan saat workshop. Workshop dibagi ke beberapa kelompok kecil yang kemudian membahas kasus-kasus pembajakan yang terjadi di dunia. Selanjutnya kami bersama-sama mencari kasus paten atau kasus pembajakan lainnya yang dilakukan oleh beberapa perusahaan besar di dunia. Hasil diskusi dipresentasikan dan saya dengan Arseny (mahasiswa dari Rusia) mewakili presentasi kelompok kami. Workshop berlangsung sampai sore hari yang kemudian dilanjutkan dengan acara “welcoming party” yang dilaksanakan pukul 8 malam di Banhof.

<span>30 Mei</span>
Tidak ada kegiatan dari panitia pada hari ini. Waktu kosong saya gunakan untuk mengenal lebih jauh tentang Jerman. Kami berencana untuk pergi ke Laut Baltik. Tapi pagi itu, udara sangat dingin itambah hujan yang membuat kulit semakin ditusuk-tusuk, rasanya tak lucu pergi ke pantai dengan kondisi hujan seperti ini. Akhirnya kami pergi ke Polandia karena ternyata perjalanan Jerman-Polandia hanya memerlukan waktu sekitar 2-3 jam.  Saya bersama teman-teman Indonesia yang lainnya berkeliling di salah satu kota di Polandia yaitu Szczecin. Kota yang cukup menarik dengan castle-castle yang membuat saya takjub. Senang rasanya bisa ke negara lain hanya dalam 2 jam naik kereta. Meski sempat diorientasi bahasa saat sampai di stasiun di Polandia.

<span>31 Mei</span>
Workshop hari ini difokuskan pada “How to get patent”. Pada kali ini kami berdiskusi tentang bagaimana untuk mendapatkan patent dan selanjutnya dibagi dalam beberapa kelompok kecil.

Kuliah umum tentang patent oleh Prof. Henkle
Saat menunggu kedatangan Prof. Henkle, beberapa teman workshop termasuk team leader meminta saya untuk mengajari tari saman. Hampir semua peserta workshop mengikuti gerakan saya hingga team leader saya hafal gerakan tari saman. Lucu sekali melihat mereka merasa senang dan bangga saat gerakan saman mereka tidak ada yang salah,  dan mereka merasa bangga karena bisa menarikan tarian dari Indonesia. Tari saman pun selesai saat prof. Henkle datang,  kuliah umum dari Prof. Henkle pun dimulai. Prof. Henkle merupakan salah satu dosen di Universitas Greifswald dan juga di Berlin. Beliau juga salah satu ahli dalam bidang hak patent. Kuliah umum ini dimulai dengan suatu pertanyaan dari beliau “why are there patents?” yang kemudian beliau mamaparkan tentang seputar patent dari mulai mana apa saja yang bisa dipatenkan dan mana yang tidak bisa dipatenkan, bagaimana nilai paten, bagaimana hak seseorang yang mendapatkan hak paten, sampai prosedur paten di Jerman. Kuliah umum ini diakhiri dengan tanya jawab dan dilanjutkan makan malam bersama Prof. Henkle. Saya langsung menuju ke tempat acara malam budaya karena waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam, jadwal penampilan budaya.

Meeting The Contitent
Dimalam kebudayaan ini, penampilan Indonesia ditunggu tunggu oleh banyak orang tidak hanya oleh peserta GrIStuF lainnya yang sempat mengikuti latihan kami tetapi juga oleh panitia GrIStuF. Di malam kebudayaan bertajuk Meeting of the Continent, lima belas mahasiswa asal Indonesia berhasil mempersembahkan penampilan yang mencuri perhatian, meskipun hanya sepuluh menit. Kami memakai pakaian tradisional daerah masing-masing seperti batik, kebaya, pakaian khas aceh, betawi, dan lain-lain. Penampilan diawali dengan perkenalan tentang Indonesia dilanjutkan dengan tari piring, tari saman, dan tari poco-poco. Menjelang akhir acara, kami diminta untuk kembali menampilkan tarian Poco-Poco, sambil diikuti kerumunan penonton yang antusias mengikuti langkah demi langkah. Dan hampir setiap orang yang datang mengatakan “great performance”.

<span>1 Juni</span>
Sebelum berangkat workshop, saya bersama teman saya pergi belanja bersama host kami untuk persiapan running dinner yang akan dilaksanakan mulai jam 8 malam.  Selanjutnya berangkat ke tempat workshop. Workhop kali ini diisi dengan kuliah umum dari salah satu pakar hukum tentang paten di Jerman dan di Meksiko yaitu Anne Kristin. Kami diskusi tentang hukum paten internasional serta perjanjian-perjanjian internasional. Ketika saya bertanya pada beliau, Anne Kristin sangat tertarik saat tahu saya dari Indonesia, beliau tahu bahwa Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam dan sudah seharusnya untuk dilindungi sebelum dibajak oleh orang lain. Workshop selesai sekitar pukul 15.30, lebih awal dari biasanya karena akan mempersiapkan untuk running dinner.
Untuk running dinner ini, saya dan host saya mendapat bagian membuat makanan penutup yaitu pudding. Disamping itu saya membuat omlet dan sambal ulek khas Indonesia. Running dimulai pukul 8 malam. Sebelumnya kami berkunjung ke suatu rumah mahasiswa untuk makan malam bersama disana. Tidak hanya kami saja yang hadir disana tetapi 2 kelompok lain dari rumah yang berbeda sehingga sekitar 20 orang berada di rumah tersebut. Kami dapat bertukar cerita dengan mahasiswa dari negara lain dan kebanyakan peserta sangat tertarik ketika saya mengatakan saya dari Indonesia. Saya pun tak lupa membagikan souvenir khas Indonesia seperti miniatur angklung. Banyak pertanyaan yang terlontar dari mereka seputar angklung. Apa itu angklung, bagaimana cara memainkannya, dan sebagainya hingga mereka mengatakan suatu saat ingin melihat angklung yang sebenarnya. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan pun semakin bertambah saat mereka melihat beberapa gambar yang terdapat dalam buku pariwisata yang saya bawa dari Indonesia
Pukul 9 malam kami melanjutkan running dinner ke apartemen keluarga Jerman lainnya. Disana disediakan spageti. Disini pun tak kalah menariknya. Ada beberapa dari mereka yang bercerita bahwa mereka pernah ke Indonesia. Betapa semangatnya mereka saat menceritakan pengalamannya di Indonesia. “Indonesia is beautiful country”, itulah yang terlontar dari mereka. Saya kenalkan daerah-daerah pariwisata yang ada di Indonesia, dan budaya-budaya di Indonesia. Selain itu, tak sedikit orang yang bertanya tentang Islam. Mulai dari “kenapa saya pakai kerudung? kenapa dalam Islam tidak boleh makan babi? Kenapa tidak boleh minum bir?konsekuensi-konsekuensi di islam seperti apa?”, dengan senang hati saya terangkan dalam bahasa yang ringan agar mudah dimengerti. Selanjutnya kami segera kembali ke rumah kami untuk menyambut tamu lain dari kelompok lain untuk makan malam di rumah host saya. Tibalah pukul 10 malam, tepat jadwal 2 kelompok running dinner lainnya dengan orang yang berbeda-beda lagi berkunjung ke rumah host saya, mereka terdiri dari orang-orang yang berasal dari Jerman, Cina, Palestina, dan lain-lain. Saya, teman saya, dan host saya menyambut mereka. Kemudian kami menyajikan makanan hasil masakan kami. Disini nama Indonesia pun kembali dipuji-puji saat mereka makan omlet dan sambal yang kami buat. Setiap orang yang datang memuji-memuji bahwa makanan Indoneisa begitu enak hingga keesokan harinya host saya meminta untuk membuat omlet seperti yang saya buat. Saya pun semakin bangga menjadi orang Indonesia.  Lagi-lagi Indonesia menjadi perhatian banyak orang. Mereka bertanya pada saya tentang Indonesia, bagaimana membuat makanan Indonesia yang sedang mereka makan itu? bagaimana isu tentang teroris? Tsunami? bagaimana perkuliahan saya? dan lain-lain. Disini pun kesempatan saya dan teman saya untuk mengenalkan Indonesia lebih jauh dan menjelaskan bahwa teroris itu hanya perbuatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, jadi jangan takut untuk berkunjung ke Indonesia. Mereka begitu antusias bertanya tentang Indonesia. Diskusi dilanjutkan dengan masalah palestina dan Israel karena pada running dinner kali ini ada mahasiswa dari Palestina. Saya pun banyak mendapat informasi dari mahasiswa itu. Diskusi begitu menarik sampai tidak sadara waktu sudah pukul 12 malam.
Kebanggaan saya sebagai orang Indonesia pun semakin bertambah saat host saya mengatakan bahwa “dulu saya belum pernah tahu yang namanya negara ini dan tidak pernah melirik negara ini [sambil menunjuk ke negara Indonesia pada peta dunia yang ada di rumahnya], tapi sekarang saya tahu negara ini, negara yang sangat cantik, dengan orang-orang yang begitu ramah”.
<span> </span>
<span>2 Juni</span>
Workshop kali ini dimulai dengan diskusi tentang bagaimana seharusnya dalam menyelesaikan kasus “Biopiracy and intellectual property” salah satunya yaitu negosiasi antar negara-negara di dunia. Selanjutnya kami simulasi negosiasi ada yang bertindak sebagai negara maju yang ingin menukar uang atau tekhnologinya dengan kekayaan hasil penelitian atau kekayaan biologis dari Negara berkembang. Pada workshop ini dibahas cara-cara konkrit setelah negosiasi dianataranya yaitu benefit sharing. Sore hari, acara festival dilanjutkan dengan acara forum.  Acara ini disediakan untuk semua peserta GrIStuF, pada acara ini mendatangkan dosen-dosen dan pejabat setempat untuk menbicarakan tentang bagaimana kita sebagai bagian dari dunia harus memiliki kemampuan merespon dan kemampuan bertanggung jawab sebagai kaum intellektual. Namun sangat disayangkan pada forum ini, tidak semua peserta hadir tetapi yang menjadi kebanggan tersendiri yaitu panitia merasa bangga karena yang paling banyak berpartisipasi di forum ini yaitu peserta dari Indonesia.


<span>3 Juni</span>
Tiap hari begitu menyenangkan mengikuti workshop meski pembahasan semakin hari semakin berat. Dengan team leader yang pintar membawa workshop sehingga workshop tidak membosankan, ditambah dengan teman-teman workshop dari berbagai negara dengan karakter yang berbeda pula, terkadang kita saling tukar bahasa. Workshop kali ini dilaksanakan di pelabuhan karena jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat workshop sebelumnya. Dan pada hari itu cuaca cerah sekitar 20 derajat celcius. Dan bagi mereka suhu tersebut sudah panas. Pada diskusi kali ini saya membuat artikel tentang workshop ini yang telah dilaksanakan selama beberapa hari yang lalu yang akan dimuat di tabloid internal GrIStuF. Di pelabuhan begitu penuh dengan warga Jerman yang sengaja duduk dibawah terik matahari karena bagi mereka cuaca cerah seperti ini begitu jarang. Saya ceritakan bahwa di Indonesia tiap hari matahari bersinar dan mereka begitu tertarik saat saya ceritakan. Saat itu semakin menambah rasa syukur saya karena tinggal di negara yang suhunya tidak terlalu dingin meski terkadang sering mengeluh kepanasan akibat sinar matahari, padahal di belahan dunia lain orang-orang sangat menanti-nanti sinar matahari.

Ship and Chill
Setelah workshop hari ini selesai, sore hari dilanjutkan dengan kegiatan “Ship and chill”. Acara ini diikuti oleh semua orang peserta GrIStuF.  Empat perahu disediakan. Tiap perahu sekitar 50 orang. Semua peserta turut berpartisipasi. Kami berlayar bersama melintasi pelabuhan itu sesekali sambil mendayung, dengan kode hitungan “one”, “two”, sesekali hitungan satu dan dua itu berubah jadi bahasa Jerman “eins”, “zwei”, atau bahasa Rusia, Cina, dan sesekali saya pun memakai bahasa Indonesia “satu”, “dua”, diikuti oleh teman-teman yang lain. Terkadang antar perahu satu dan perahu yang lain saling balapan semakin menambah keramaian di sore hari itu.

Pirate Diploma
Setelah acara ship and chill dilanjutkan dengan acara santai bareng di pelabuhan itu. Disana terdiri dari musik-musik, games dan sekaligus makan malam. Pirate diploma merupakan salah satu games yang terdiri dari beberapa pos, ditiap pos terdapat beberapa tantangan yang berbeda-beda dan sangat menarik. Terdiri dari 9 pos, bila semua pos telah dilalui maka kita dianggap lulus dan mendapat gelar pirate diploma. Yang berpartisipasi dalam games ini hanya sedikit. Partisipan terbanyak pada games ini dari Indonesia, peserta yang lain dari Italy, Belanda, Jerman, sedangkan kebanyakan peserta menghabiskan waktu ini dengan ngobrol-ngobrol atau sekedar mendengarkan musik yang dimainkan di panggung di atas kapal laut. Games pun semakin menarik saat kami mencari pos-pos dengan menyusuri pelabuhan dan kerumunan orang-orang yang sedang duduk santai. Diakhir games saya dan beberapa teman lainnya dinobatkan sebagai pirate diploma karena telah lulus di semua pos.

<span>4 Juni</span>
Pertemuan workshop kali ini tidak membahas lagi tentang biopiracy. Evaluasi selama workshop dan selama festival sekalian jalan-jalan jalan di pelabuhan dan pembagian sertifikat. Disini satu sama lain saling memberi surat yang berisi pesan singkat yang dimasukkan ke dalam amlop untuk kemudian dibaca setelah sampai ke negara masing-masing. Cukup sedih detik-detik perpisahan ini.

<span>5 Juni</span>
Hari terakhir festival ini dimulai dengan presentasi tiap kelompok workshop. Tiap kelompok workshop mendirikan stand dari mulai workshop sosial, politik, dan sains, dan setiap orang dari workshop lain mengunjungi stand workshop lainnya, disini kami bertukar informasi. Selanjutnya bersama-sama parade keliling Greifswald dan setelah parade keliling kota, sejumlah peserta meminta kami mengajari mereka gerakan Tari Saman yang sempat kami tampilkan. Tibalah saat perpisahan yang diadakan di laut Baltik. Disana kami saling berpamitan antar peserta dari Indonesia juga dengan peserta dari negara lain. Saat ini juga team leader saya mengatakan bahwa dia dan teman-temannya menjadi tertarik ke Indonesia dan akan menghabiskan hari liburnya di Indonesia.

<span>6 Juni</span>
Waktu kepulangan. Penerbangan dari Hamburg,  pemberangkatan Greifswald-Hamburg sekitar 3 jam dengan menggunakan kereta bersama beberapa teman-teman Indonesia lainnya. Sampai di Hamburg, kami berpisah, sebagian teman saya pergi ke tempat teman yang berada di Hamburg. Ada pula yang dijemput oleh saudaranya yang tinggal di Hamburg. Tinggal saya dan kedua teman saya dari UGM. Kami tinggal di salah satu teman kami dari Indonesia yang keluarganya tinggal di Hamburg. Disinilah akhirnya kami menemukan makanan Indonesia setelah dua minggu ini tak merasakannya. Setelah harus bersabar dengan menu makan siang yang selama festival tiap hari itu 2 buah roti keras yang sampai membuat saya sariawan dan sakit gigi dengan sayuran yang tak jelas rasanya dan youghurt yang tak pernah saya makan untuk penjagaan lambung saya karena takut keasaman. Yang akhirnya saya lebih berlari ke donner kebab..hmmm makanan favorit kami…atau masak mie rebus yang saya bawa dari Indonesia..


<span>7 Juni</span>
Keliling kota Hamburg dan pergi ke airport untuk penerbangan ke Indonesia pada pukul 15.30. Rasanya tak mau berpisah dengan negara ini. Sampai saya harus lari-lari pergi ke airport karena batas waktu untuk check in sudah sangat telat. Untunglah saya masih bisa untuk check in dan area disana sudah sangat sepi. Bertemulah saya di pesawat dengan ketiga teman-teman peserta Indonesia yang sempat berpisah karena berbagai kepentingan.

 <span>8 Juni</span>
Dini hari tiba di Dubai. Negara ke-4 yang kaki saya langkahkan. Barulah disini terasa sudah dekat dengan Indonesia ketambah lagi setelah melihat kerumunan-kerumunan TKI yang akan pulang ke Indonesia. Begitu banyak. Cukup membuat hati terenyuh. 15.30 sampai Bandara Soekarno-Hatta, dan siap meluncur ke Jatinangor.

Betapapun Indahnya negara lain, betapapun disiplinnya negera lain, betapapun nyamannya negara lain, betapa mudahnya fasilitas disana dan bagaimanapun lucunya anak-anak di Jerman rasa kangen saya terhadap Indonesia tidak pernah hilang selama saya disana, kangen akan suasana di Indonesia, orang-orang Indonesia, makanan Indonesia (ikan lele dan ayam penyet, bakso, soto sulung, kwetiau, tahu pedas, nasi gila, dll), seringkali lagu-lagu Indonesia pun sering saya dendangkan untuk mengobati rasa kangen saya terhadap Indonesia…

Indonesia tanah air beta
Pusaka Abadi nan jaya
Indonesia Sejak dulu kala
Tetap di puja2 bangsa
Disana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Sampai akhir menutup mata

Atau lagu-lagu yang sering terdengar di kampus…

Kan kutunjukan padamu
Kan kubuktikan padamu
Rasa bangga dan baktiku
Almamater
Meski kan kutinggalkanmu
Meskiku jauh dari mu
Hatiku slalu padamu Almamater


Dengan bangga saya selalu katakan saya orang INDONESIA..yang selalu mencintai INDONESIA...memang belum banyak yang dapat saya beri untuk indonesia dan sebagai intelektual muda sayasadar saya tidak mempunyai banyak sumber daya, selain idealisme dan tekad untuk maju.







 

Biopiracy and Intellectual Property

Pada saat ini, di seluruh dunia sedang berkembang isu pembajakan hayati serta pembajakan kekayaan intelektual (Biopiracy and intellectual property). Masalah pembajakan ini tidak hanya terjadi antara negara berkembang dengan negara maju tetapi juga negara maju dengan negara maju.

Biopiracy merupakan pencurian sumberdaya hayati untuk keuntungan individu tertentu tetapi merugikan komunitas lainnya, yang dalam hal ini berarti pembajakan sumber genetik lokal untuk kepentingan asing. Tindakan biopiracy biasanya diawali dengan bioprospeksi, yaitu proses pencarian sumber daya hayati terutama sumberdaya genetika, material biologi untuk kepentingan komersial. Sedangkan Intellectual Property merupakan kekayaan pengetahuan masyarakat lokal atau hasil penelitian yang berhubungan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam.

Biasanya pembajak mencari informasi langsung pada masyarakat lokal tentang pengetahuan tradisional masyarakat setempat dengan cara yang sangat mudah, mengumpulkan sampel, dan membawanya pulang. Tidak ada hukum yang berlaku.

Sementara, masyarakat tidak tahu perusahaan-perusahaan multinasional, khususnya yang bergerak di bidang pangan dan obat-obatan terus melakukan percobaan dan penelitian terhadap tanaman yang telah dikumpulkannya itu guna mengembangkan dan menemukan spesies baru yang memiliki keunggulan daripada sebelumnya dengan teknologi mutakhir atau yang dinamakan bioteknologi.

Misalnya mereka mendapat formula obat tradisional dari masyarakat setempat, dirumuskan kembali, diambil sampelnya, dan kemudian diam-diam dibawa ke negara lain serta dipatenkan di sana dan menuai keuntungan sebanyak-banyaknya. Sehingga ketika masyarakat asal hendak menggunakan formula tersebut, mereka harus membayar dengan harga yang tinggi kepada si pemilik paten, yang belum tentu pemilik asli pengetahuan tersebut.

Berikut kasus-kasus pembajakan hayati yang telah terjadi :
  1. Departemen Pertanian AS dan sebuah perusahaan riset farmasi menerima paten teknik untuk mengekstrak sebuah agen anti-jamur dari Neem pohon (Azadirachta indica), yang tumbuh di seluruh India dan mempatenkan pohon neem itu menjadi milik AS. Padahal setelah ditelusuri dari dokumen-dokumen serta informasi dari masyarakat India, pohon neem merupakan pohon asli dari India. Kantor Paten Eropa baru-baru ini menarik paten nomor 436257 yang diberikan kepada AS dan Perusahaan W.R. Grace untuk fungisida yang diambil dari biji pohon nimba (neem—Azadirachta indica). Hal ini mengakhiri perjuangan lima tahun oleh petani dan kelompok masyarakat di India maupun dunia yang mengajukan tuntutan atas pemberian paten tersebut.
2. Rice Tec, suatu perusahaan di Texas yang menanam padi, mendapatkan hak paten atas galur beras basmati yang ditanam di AS. Padahal padi/beras  basmati beras unik yang tumbuh di wilayah Punjab baik di Pakistan maupun India dan mempunyai keunggulan tertentu dibandingkan varietas lain. Dikatakan bahwa basmati merupakan nama generik dan produk mereka dijual dengan nama dagang berbeda seperti Texmati, Jasmati dan Kasmati.

3. Secara diam-diam, perusahaan kosmetik Jepang Shiseido baru-baru ini mendapatkan sembilan hak paten atas produknya yang berasal dari tanaman dari INDONESIA. Beberapa tanaman tersebut adalah  kayu rapet, sambiloto, kayu legi, lempuyang, brotowali, beluntas, pulowaras, kemukus, dll yang kesemuanya sudah digunakan selama ratusan tahun untuk rempah dan obat oleh masyarakat nusantara.

4.Saat ini keladi tikus dibudidayakan secara besar-besaran di Malaysia. Kapsulnya banyak dikonsumsi penderita kanker di Indonesia. Karena harganya sangat mahal, hanya kalangan tertentu yang mampu membelinya.

5. Tercatat ada 19 paten tentang tempe, di mana 13 buah paten adalah milik AS, yaitu: 8 paten dimiliki oleh Z-L Limited Partnership; 2 paten oleh Gyorgy mengenai minyak tempe; 2 paten oleh Pfaff mengenai alat inkubator dan cara membuat bahan makanan; dan 1 paten oleh Yueh mengenai pembuatan makanan ringan dengan campuran tempe. Sedangkan 6 buah milik Jepang adalah 4 paten mengenai pembuatan tempe; 1 paten mengenai antioksidan; dan 1 paten mengenai kosmetik menggunakan bahan tempe yang diisolasi. Paten lain untuk Jepang, disebut Tempeh, temuan Nishi dan Inoue (Riken Vitamin Co. Ltd). Tempe tersebut terbuat dari limbah susu kedelai dicampur tepung kedele, tepung terigu, tepung beras, tepung jagung, dekstrin, Na-kaseinat dan putih telur.
Padahal sudah jelas-jelas, tempe merupakan asli Indonesia

Kenyataan ini sungguh menyedihkan sekaligus mengherankan. Kenapa bisa `negara lain mematenkan sesuatu yang merupakan aset negara lain. Kelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati Indonesia pada khususnya, saat ini dihadapkan pada ancaman tindakan pembajakan terhadap keanekaragaman hayati (biopiracy).

Jika dikaji secara komprehensif, terjadinya biopiracy dapat dilihat dari berbagai aspek, pertama, aspek normatif. Secara normatif peraturan tentang kejahatan pembajakan keanekaragaman hayati masih belum ada secara spesifik dan masih sangat lemah. Kedua, ketidaksiapan pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi sistem paten dan tidak diakuinya pengetahuan-pengetahuan lokal.

Oleh karena itu, perlu adanya perlindungan terhadap kekayaan hayati dan kekayaan intelektual baik yang sifatnya mengikat maupun tidak mengikat. Salah satu caranya yaitu hak paten di negara masing-masing yang berdasarkan prinsip keadilan (fairness) dan kejujuran para peneliti. Adapun syarat-syarat paten diantaranya novelty (kebaruan), non-obvious (bersifat inventif), and useful (kebergunaan). Pada permasalahan ini, tiap-tiap negara harus saling melindungi hak kekayaan warga negara lain, menginventarisasi dan mendokumentasi pengetahuan tradisional kekayaan masing-masing.

Namun, dapat dicatat pula bahwa hukum tanpa moral dapat menjadi alat yang lebih berbahaya ketimbang pisau. Paten dan etika Harus diingat bahwa dasar filosofi tentang perlindungan HKI (Hak Kekayaan Intelektual) adalah doktrin hukum alam yang bersumber pada ajaran moral: “jangan mengambil apa yang bukan milikmu”. Doktrin itu dapat dikembangkan menjadi berbagai ajaran moral, antara lain: “jika engkau akan mengambil atau menggunakan apa yang bukan milikmu, mintalah ijin terlebih dahulu kepada pemiliknya”. Doktrin ini merupakan prinsip dasar dari perjanjian CBD (Convention on Biological Diversity). Bahkan dalam konteks perjanjian itu sendiri terdapat prinsip yang juga bersumber pada ajaran etika, yaitu prinsip itikad baik (good faith).

Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk Indonesia?? apakah kita hanya akan  bergerak  setelah kekayaan kita diambil orang asing??? memberontak saat sudah disahkan???jawabannya..TIDAK...mari bersama-sama melindungi kekayaan negeri kita tercinta ini sedini mungkin....

Qurbankan Ismailmu!!!

Seabad kehidupan, Ibrahim penuh dengan perjuangan, gerakan, keterluntaan, dan perang malawan kebodohan dan penindasan. Ibrahim tinggal bersama istrinya Sarah yang merupakan wanita cantik tapi tidak memberinya dia anak.

Ibrahim makin tua dan kesepian. Walaupun di puncak kenabiannya, namun ia adalah seorang manusia biasa, dan seperti manusia biasa lainnya, ia menginginkan seorang anak. Apalagi usianya kian senja. Ia tidak berharap lagi karena menurut pertimbangan akal sederhana pun hal itu rasanya tak mungkin. Tetapi Ibrahim tetap berdoa karena yakin bahwa Allah akan menjadikan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Maka berdoalah ia : “Ya Tuhanku, anugerahilah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang shaleh”. (QS. Ash Shaaffat:100).

Allah akhirnya melimpahkan karuniaNya kepada lelaki tua yang telah membelanjakan habis seluruh kehidupannya dan menanggungkan penderitaannya demi menyebarkan risalahNya. Melalui wanita yang bernama Hajar, Allah memberinya seorang anak : Ismail

Ismail tentu bukan hanya seorang putera bagi ayahnya. Ismail adalah buah yang didambakan Ibrahim seumur hidup dan karunia yang diterimanya sebagai orang yang telah memenuhi hidupnya dengan perjuangan. Sebagai putera tunggal, Ismail pun merasakan penuh kasih sayang dan cinta dari ayahnya.

Di depan matanya yang ditutupi alis yang sudah memutih dan yang berbinar-binar karena kebahagiaan, Ismail tumbuh di bawah asuhan dan kasih sayang. Bagi Ibrahim, Ismail seperti satu-satunya pohon hijau yang tumbuh di kebun gersang milik seorang petani tua. Ismail tumbuh sebagai batang pohon yang kekar. Ia mendatangkan kecerahan dan kebahagiaan ke dalam hidup Ibrahim. Ia adalah harapan, kecintaan, dan buah hati Ibrahim.

Akan tetapi tanpa diduga-duga, wahyu Allah turun memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih Ismail. “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata : “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”(QS. Ash Shaffat:102).

Betapa goncangnya jiwa Ibrahim ketika menerima wahyu yang luar biasa beratnya ini. Duka nian hatinya. Batunnya sangat goncang menerima wahyu itu. Tetapi wahyu itu perintah Allah. Konflik pun terjadi dalam batinnya. Siapakah yang lebih disayangi, Allah atau Ismail?? Dalam kondisi seperti yang dialami Ibrahim, ini adalah keputusan yang teramat sulit diambil. Dengan rela, Ibrahim punmengambil langkah apa yang  Alloh perintahkan.

Dan kita, siapakah atau apakah yang lebih kita sayangi? Allah atau diri kita sendiri? Keuntungan atau nilai? Ketergantungan atau kemerdekaan? Berhenti atau terus berjalan? Kesenangan atau kesempurnaan diri? Hidup untuk hidup itu sendiri atau hidup untuk tujuan? Mengabdi pada perasaan-perasaan atau mengabdi pada keyakinan yang hakiki? Menuruti hawa nafsu atau melaksanakan perintah Allah? Dan…? Terakhir, siapakan yang kita pilih : Allah atau ‘Ismail’kita?

Saudaraku..
Tak terasa bulan dzulhijah sebentar lagi, mengingatkan kita akan sosok seorang hamba yang diberi galar "Kholilulloh" (Ibrahim), ia telah membuktikan ketaatan dan kecintaannya hanya kepada Alloh SWT.

Semoga di bulan dzulhijah ini kita diberi kekuatan untuk bisa melepaskan ismail2 yang kita cintai, sehingga jiwa2 merdeka dapat kita miliki..Amin.

Jam Kritis di Angkot Gratis

Mungkin ini sering dialami temen-temen juga. Terutama saat-saat jam kritis. Salah satunya jam 07.45
“Sebentar sih, gue kan ga bisa masuk nie”
“Tunggu dulu, gue dulu yang masuk”
“Aduh,,aduh tas gue ketarik-tarik”
sambil marah-marah sering terdengar seseorang menggerutu saat dia tak bisa masuk karena dirinya sudah terdorong bejibun orang yang ada di belakangnya untuk masuk naik angkot gratis karena satu pintu angkot dimasuki sampai tiga orang. Tak ada yang mau mengalah. Kalimat yang dilontarkan orang itu pun tak dihiraukan dan yang lainnya terlihat masa bodoh saja. Ibaratnya siapa yang kuat dia dapat.

Terkadang bejibun orang masuk, hingga banyak orang yang baru menyadari bahwa dia tidak kebagian tempat duduk yang akhirnya menyerah saja dan duduk dibawah “yang penting nyampe” lontarnya sambil ketawa.

Terlihat dari jauh beberapa orang yang datang bersamaan, hingga mereka harus terpisah diangkot gratis karena sebagian dari mereka tidak bisa masuk angkot itu karena ketatnya persaingan untuk masuk, terpaksa harus tereliminasi. Sampai terlontar dari mereka kata2 seperti akan berpisah “dadah”,, hmm..layaknya acara Indonesia Idol yang salah satu pesertanya tereliminasi.

Atau ada sepasang laki-laki dan perempuan yang sedang berpegangan tangan, kemudian mereka masuk ke dalam angkot itu secara bersamaan, dan tanpa mereka sadari angkot sudah penuh dan hanya satu kursi yang kosong, hmm…terpaksa salah satu dari mereka harus duduk dibawah, terdengar obrolan dari keduanya yang saling ingin mengorbankan dirinya untuk duduk di bawah.hehe

Sering terjadi saat semuanya saling mendahului untuk masuk dan satu orang sudah bersiap-siap untuk masuk, memegang pintu angkot, tapi sayang sekali kuota tidak mencukupi yang akhirnya bengong dan hanya bisa menutupkan pintu angkot itu dan angkotpun jalan. Terlihat diwajahnya begitu memelas. (hanya bisa menutupkan pintu angkot) (beramal tak disengaja).
Kadang-kadang tiba-tiba pintu angkot itu tak bisa ditutup sehingga harus terus dipegang. otomatis yang paling terakhir yang harus megang pegangan pintu angkot itu karena yang paling dekat dengan pintu itu hingga sampai saya tiba di fakultas saya pun (coba bayangin dari gerbang, muter ke fisip, sastra, fikom sampai farmasi) dia masih megang pintu itu karena fakultasnya lebih jauh dari yang lain sedangkan di dalam angkot itu belum ada yang turun.

Terdengar dua orang bapak-bapak yang sering ngatur-ngatur angkot itu:
“De, Ayo, minggir-minggir…kasihan yang pertama kali datang”, tapi sepertinya kata-kata itu sudah sangat kebal.

Atau kata-kata tukang angkot yang sering terdengar “Pelan-pelan de, biarkan masuk dulu satu-satu”,,hmm…malah diatur-atur sama tukang angkot. Bukannya katanya mahasiswa itu lebih berintelek?? Tapi kata-kata itu pun sepertinya sudah kebal layaknya antibiotik yang yang tak berguna lagi karena bakteri sudah resisten.

Semua saling mendorong...Hingga saya baru merasakan naik angkot yang tak perlu memakai tenaga. Tak perlu berusaha berjalan karena toh saya terdorong dari belakang dari kerumunan-kerumunan orang yang berusaha untuk masuk hingga saya bisa duduk di kursi angkot gratis itu dengan tenang. Sungguh begitu kaget sebelumnya. Hingga terkadang saya lebih memilih menyerah saja dan lebih baik jalan kaki atau naik ojeg.

Tak ada kata Mengantri disini

Tetapi terkadang sering mengherankan juga saat angkot masih kosong karena baru sedikit mendekati jam kritis, angkot pun berseliweran dan hanya mengangkut beberapa penumpang saja, 4 orang sering kejadian seperti ini hmm..terdengar pertanyaan dari samping yang sama-sama akan naik nagkot itu “apakah malas untuk berhenti? Karena mau ngangkut penumpang atau tidak pun sama saja, toh sekarang uang gaji pun sudah tertulis di kuitansi di Unpad”. Atau prasangka baik mungkin angkot itu tak bisa di rem.

Teringat saat menjadi mahasiswa baru Unpad, tarif angkot di Unpad 700 rupiah dan jarang sekali mendengar orang berkata “terima kasih mang”, hanya beberapa orang saja. Berbeda dengan sekarang, sepertinya lebih dari 10 kali saya mendengar “terima kasih mang” saat saya naik angkot gratis. Tetapi Jarang sekali saya mendengar kalimat itu di angkot biasa misalnya angkot sumedang yang umumnya penumpangnya mahasiswa Unpad yang mengantarkan Jatinangor-Sumedang, atau Jatinangor-Jatos, atau Jatinangor-Cileunyi. Hmm..angkot gratis membuat orang menjadi lebih pemurah.
Jam kritis di angkot gratis,,,yang membuat sepatu putih menjadi hitam seketika karena terinjak-injak bejibunan orang,,atau membuat rumput-rumput taman yang begitu pasrah terinjak-injak atau membuat kerudung lepas dari yang memakainya karena tertarik-tarik, sepatu yang tertinggal sebelah saat naik angkot, tas yang lepas dari orang yang memakainya, yang membuat regulasi emosi setiap orang begitu terlihat jelas,,bahkan membuat orang menjadi begitu pemurah dengan lebih sering mengatakan “terima kasih mang”.

Pencuri Hp Arbi



“Geser dikit mbak” kata seorang laki-laki yang ada di samping tempat duduknya disebuah angkot. Laki-laki tersebut terus mepet.
“Mbak, maaf, bisa bukain jendelanya? Gerah nie” kata laki-laki itu.
Seorang perempuan (sekitar 20 tahun) duduk disampingnya. “wah ini modus nie” lirih perempuan itu dalam hati yang telah menyadari bahwa modus ini sering terjadi di angkot-angkot saat copet beraksi. Laki-laki itu terus mepet hingga seorang perempuan itu terpancing emosinya dan lupa akan modus copet itu. “Bentar dulu sih!” kata perempuan itu sambil membuka jendela angkot itu.
Dan memang benar, secepat kilat copet itu mengambil Hp seorang perempuan itu dari dalam tasnya saat perempuan itu membuka jendela angkot.
Saat kembali ke posisi semula, antara sadar dan tidak sadar, perempuan itu melihat gantungan panjang di hpnya sekelibat terlihat keluar dan terus menghilang, tanpa melihat ke dalam tas yang dibawanya dan meski agak ragu, perempuan itu langsung berbicara dengan laki-laki yang ada di sampingnya itu.
“Mana ih Hp saya, sini kembalikan” kata perempuan itu.
“Apa?” kata orang itu.
“itu Hp saya kembalikan” dengan nada memelas.
“Apa?”
“Itu Hp saya, sini kembalikan”
“Apa? saya ga tau apa-apa”
“ih nggak mau, Itu Hp saya, sini kembalikan” Sambil terus menatap laki-laki itu, perempuan itu terus memelas.
“Nih” akhirnya lelaki itu mengeluarkan sebuah handphone yang memang handphone perempuan itu.
Karena merasa takut, akhirnya perempuan itu turun dari angkot, sambil membisikkan ke penumpang yang disebelahnya “Awas copet!”.
Terlihat wajah laki-laki itu malu karena dilihat penumpang lainnya sekaligus marah kepada perempuan muda itu.

Kejadian lain. Seorang perempuan dengan Hp baru ditangannya. Terdengar kata-katanya “ga kebayang deh kl hp gue ilang” kata perempuan itu.
Beberapa bulan kemudian, terdengar berita bahwa Hpnya yang sempet dibicarakan itu hilang, katanya tak tahu apakah jatuh atau lupa nyimpen atau memang diambil orang, Yang pasti begitu kalutnya perempuan itu, menangis..dan menangis,,,mencari terus kemana-mana hingga larut malam,,saat mengingatnya terus menangis dan terus menangis, sampe akhirnya baru stabil sekitar 4 hari.

Kejadian lainnya. Ada 2 orang perempuan. Mereka sahabat dekat.  Salah satu perempuan itu sebut saja namanya A mengunjungi rumah perempuan yang satunya, sebut saja namanya B. Saat itu, di rumah B ada anak-anaknya yang masih kecil, dan adiknya yang kurang penglihatannya (penglihatannya kabur). Mereka Bercerita-cerita, masak dan makan bareng, hingga pergi jalan-jalan. Begitu sangat dekat. Saat mereka sudah beres jalan-jalan, A pergi ke kamar mandi untuk mandi dengan melepas perhiasan yang dipakainya itu.

 Beberapa menit setelah itu, A dan B pergi mengunjungi tetangga-tetangga lain. Saat di rumah tetangganya itu, A baru menyadari bahwa perhiasan-perhiasan yang dipakainya itu tertingal di kamar mandi. Segera mereka kembali ke rumah B. tapi sayang sekali, semua perhiasan itu sudah tidak ada. A langsung shock melihat semua perhiasannya hilang. Dia langsung bertanya pada B. A langsung marah pada B, begitu pedas cacian yang dilontarkan A pada B, mulai dari menyindir sampai keluar kata pencuri pada B. Hingga terlihat seperti tak ada kata persahabatan sebelumnya. B tampak bingung karena semenjak A ke kamar mandi B sudah menunggu di luar siap-siap untuk pergi. Kemungkinan yang terjadi bisa saja A lupa perhiasannya itu sudah dia bawa tetapi lupa menyimpannya, atau terbawa air saat adiknya B ke kamar mandi, karena penglihatan adiknya B begitu kabur bahkan hampir tidak bisa melihat, atau memang B yang mengambilnya. Tetapi A tidak mau berpikir keman-mana yang dia ucapkan hanya menyalah-nyalahkan B. Tanpa permisi, A langsung pulang ke rumahnya hingga terlontar dari ucapannya bahwa dia tak mau bertemu lagi dengan B dan tidak akan pergi ke rumah B lagi. Sekejap, persahabatan yang selama ini terjalin itu sirna meski fakta yang sebenarnya tak tahu.

Begitu banyak kasus pencurian yang sering kita dengar. Dari mulai pencurian ayam, sapi, motor, mobil, perhiasan, hingga pencurian jagung di kebun. Saat pencuri itu ketahuan tak jarang saling menghardik, atau diadili di pengadilan, ditembak polisi, dikeroyok massa hingga cedera atau cacat, atau bahkan hingga meninggal karena ditikam masa dengan alasan mencuri ayam, bebek, dsb. Begitu sering terdengar di berita. Mulai dari berita dari obrolan orang ke orang hingga berita dari televisi. Bahkan saat kita browsing berita harian di internet, tak terlewatkan berita pencurian dari yang menimbulkan perpecahan persaudaraan  sampai menimbulkan korban, baik si pencuri atau yang dicuri.

Tetapi ada yang beda dengan kasus pencurian ini.
Seorang laki-laki sebut saja namanya Arbi. Dia pergi ke suatu tempat dan di mushola tempat itu lah dia kehilangan Hpnya, setelah sholat, dia lupa membawa Hpnya, dan baru menyadari setelah keluar dari mushola itu, dia langsung kembali lagi ke mushola. Disana ada seorang petugas cleaning service. Saat Arbi tanyakan kepada lelaki itu karena dialah satu-satunya orang yang ada disana setelah Arbi keluar, laki-laki itu menjawab bahwa dia tidak melihat Hpnya arbi itu. Arbi pun cerita kepada salah satu temannya yang bekerja disana. Akhirnya temannya mengumpulkan semua pegawai disana, ditanya satu per satu tetapi tidak ada yang mengaku.
Kemudian Arbi pulang dan hari berikutnya temannya itu menyelidiki siapa yang mengambil Hp Arbi.
http://profile.ak.fbcdn.net/hprofile-ak-snc4/hs458.snc4/50093_1281337327_296299_q.jpg
Ternyata orang yang mencuri itu memang benar. Seorang cleaning service. sederhana dan bukan termasuk golongan orang yang kurang pada kenyataannya.
http://profile.ak.fbcdn.net/hprofile-ak-snc4/hs227.ash2/49215_1191168291_909602_q.jpg
Sempet saya bertanya, “nah setelah arbi tw kehidupan dia, arbi merelakan Hp itu?”

“simple, hape itu kan buka punya saya..rezki manusia it sama seperti air digelas. Gak bertambah dan gak berkurang. Dan tergantung kita mau ngambil air itu bagaimana. Lewat cara halal atau haram. Seyogyanya manusia gak akan meninggal hingga semua nikmat untuknya tersampaikan semua...Jadi saya menikmati saja setetes demi setetes air itu. mungkin hp itu 'air'nya org itu, so, seyogyanya air saya gak berkurang” sambungnya.
http://profile.ak.fbcdn.net/hprofile-ak-snc4/hs227.ash2/49215_1191168291_909602_q.jpg
Begitulah pemikiran Arbi hingga dia berfikiran bahwa dia tidak mau petugas cleaning service itu harus kehilangan pekerjaannya karena gara2 ‘mungkin’ dia pingin hp itu. Karena Arbi tahu, kalau dia minta, pasti orang itu akan diusut oleh teman Arbi yang bekerja disana dan efeknya petugas cleaning service itu bisa dipecat.


“dan siapa tau aza next time dgn gak adanya pengalaman buruk antara saya sama petugas cleaning service itu, bisa terjalin kekeluargaan” sambungnya.


Tidak mengusutnya bukan berarti Arbi berpikiran bahwa dia membiasakan seseorang untuk mencuri.  Dia sempet beberapa kali ngirim SMS ke nomor Hp yang dicurinya itu. Bukan sms yang berisi kata-kata “kemabalikan Hp saya…kembalikan Hp saya” yang mungkin sering terjadi saat seseorang kehilangan Hpnya. Tidak dengan Arbi. Dia mengirim SMS untuk hanya minta nomor2 Hp yang ada di phone book hp itu, dan bahkan sempat menawarkan untuk memberi charger dan dus Hp untuk menjadi milik pencuri itu, tapi  tak ada respon dari pencuri itu. Arbi tak merasa menyesal membiarkan pencuri itu mengambil Hpnya meski bisa saja dia datang ke tempat pencuri itu bekerja untuk minta Hp dikembalikan. Akan tetapi, seringkali Arbi mengirim beberapa SMS tausiah kepada petugas cleaning service itu. Itulah salah satu tujuannya. Pesan moral yang ingin ia sampaikan.

Sejahat jahatnya orang, dia tetap memiliki hati yang mana dalam hati kecilnya itu tak bisa membohongi bahwa apa yang dia lakukan itu salah. Beban moral yang lebih berat saat ditawari charger dan dus Hp agar saat dia menjualnya pun bisa lebih tinggi harganya. Beban moral yang lebih berat daripada dikeroyok atau diadili. Memang kita tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan bagaimana pencuri itu, tak tahu apakah dia sadar dengan perbuatannya itu dan menjadi malu akan perbuatannya atau tak peduli. Mungkin kita sangat bersyukur bila pencuri itu cukup malu karena tau orang yang Hpnya dia curi begitu sering menyampaikan tausiah2 tulusnya. Dan kalaupun tidak adanya kesadaran petugas itu, tak masalah semua perlu proses.

“Step by Step” 

Di tulisan ini, saya tidak akan menyimpulkan bagaimana seharusnya dalam menanggapi kasus-kasus itu, apakah seperti yang dilakukan Arbi atau seperti contoh-contoh lain pada umumnya. Setiap orang memiliki pertimbangan sendiri, memiliki keputusan tersendiri untuk mengambil langkah dalam hidupnya. Keputusan sekecil apapun. Langkah yang diambil berdasarkan tujuan kedepannya. Berdasarkan pelajaran moral yang akan kita sampaikan dan pelajaran moral yang akan kita dapatkan.


Di Hp Arbi yang diambil itu, telah di setting (lupa nama settingannya, hehe) hingga Arbi tahu aktivitas yang dilakukan di Hp itu misalnya saat pencuri itu ngisi pulsa atau ganti kartu. Dan seringkalli laporan masuk berupa SMS ke nomor Hp Arbi yang Arbi pegang, Arbi memberi nama nomor pencuri itu di phonebooknya hingga saat ada sms berupa laporan itu  terlihat di layar Hpnya “Pencuri Hp Arbi”.

Cerita Tentang Seorang Teman


Berita pagi ini tentang kematian seorang TKW (Kikim Komalasari) akibat kekerasan yang dilakukannya oleh majikannya di Arab Saudi, mengingatkan saya akan seorang teman yang bertemu 5 bulan yang lalu.

Dubai, 8 Juni 2010
@Pesawat Emirates

Cukup mengagetkan, Bandara International Dubai begitu padat dengan para TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Kursi-kursi tempat menunggu begitu penuh hingga tidak sedikit para TKI duduk di lantai dengan barang-barang yang kami bawa. Terlihat wajah-wajahnya yang begitu lelah dan begitu semangat menanti saat-saat naik pesawat untuk pulang ke Indonesia. Beberapa dari mereka melirik saya saat saya dan teman-teman berjalan melewati mereka. Mereka cukup tahu saya orang Indonesia dengan jaket yang saya pakai bergambar bendera Indonesia di lengan jaket. Sesekali kami bertegur sapa dengan salah seorang dari mereka.  “Ngelihat para TKI itu, jadi ngerasa udah semakin dekat ke Indonesia nie” kata salah satu teman saya. “Iya, itu mereka pada duduk di bawah, kasihan sekali, menunjukkan banget orang Indonesia yang menghawatirkan” sahut teman lainnya. Tibalah saat Boarding Pass pesawat yang menuju Indonesia, para TKI berlarian menuju antrian, dan antrian pun sangat penuh dengan TKI, hingga saya beserta teman-teman lain menunggu kosongnya antrian. “Biarkan kami saja dulu” sahut saya pada teman-teman.

Saat masuk pesawat, saya dan teman-teman berpencar karena tempat duduk kami yang berjauhan. Seperti biasanya, para pramugari menyambut kedatangan para penumpang saat masuk pesawat dengan penuh senyuman. Ada yang beda kali ini. Saat saya telah masuk, saya disambut satu senyuman lagi, kali ini bukan pramugari tetapi seorang perempuan yang sepertinya tidak jauh beda umurnya dengan saya yang telah duduk di deretan nomor kursi saya.

Dengan penuh senyuman, perempuan itu menyapa saya,  “Mbak, disini bukan sama saya duduknya?, saya nomor 29”

“Iya,,mmm, nomor kursi saya 28, nomor 28..29..30.., gitu kan ya urutannya?” jawab saya pura-pura menghitung deretan nomor kursi yang sebenarnya saya tahu dia salah duduk, ya sedikit pura-pura bertanya biar dia tidak malu, membiarkan dia menyadari sendiri kalau dia ternyata menduduki kursi saya. Kalaupun dia tidak menyadarinya biarkan saya yang duduk di kursi dia, pikir saya.hehe

“Eh iy, 29 itu disini, (kata perempuan itu sambil nunjuk kursi ke sebelahnya). “Maaf mbak”.

“Iya ga apa-apa”, jawab saya sambil tersenyum.

Hmm…cukup lama waktu menuju Indonesia, saatnya memenuhi waktu tidur yang selama sekitar 2 minggu cukup tercecer karena jadwal kegiatan yang begitu padat saat konferensi dan juga musim Summer di Jerman yang membuat malam menjadi begitu sangat singkat.
Saatnya pakai headset, penutup mata, dan memanfaatkan label “don’t be disturbed” yang sudah tersedia di pesawat.

Headset sudah terpasang, penutup mata siap dipasang, dan label hampir saya tempel, tetapi tiba-tiba terdengar seseorang disamping saya bertanya:

“Dari mana mbak?” , tanya perempuan tadi.
“Saya dari Jerman”, jawab saya.
“Kok dari Jerman kesini?”, Tanya dia lagi.
“Cuma mampir”, jawab saya.
“di Jerman kuliah mbak?”
“oh nggak, baru selesai ada acara mahasiswa”, jawab saya lagi.
“Oh. Gimana mbak suka tinggal disana?”

Hmm..sepertinya arah pertanyaannya megarah ke ngajak ngobrol. Pikir saya. Saya pun melepas headset.
 “Iy, sangat suka”. Jawab saya.
 “Wah kayaknya bagus banget ya mbak negara Jerman. Mbak sangat beruntung bisa mengikuti kegiatan yang kaya gitu. Tidak seperti saya, hanya seorang TKW”.
Saya hanya tersenyum, dari sana kami berkenalan. Tapi saya lupa namanya, sebut saja nama samarannya Een. Berasal dari Bekasi. Een, seorang TKW berumur 25 tahun dan belum menikah.
“Huh, sampai jumpa negeri Arab karena saya tidak akan pernah kembali lagi”, sahutnya.

Saya kaget mendengar ucapan itu. “wah kenapa kamu bilang seperti itu?, saya suka melihat pemandangan dubai. Apalagi di malam hari, begitu sangat cantik”.

“Iy, Dubai dan Arab memang kota yang sangat cantik, tapi pengalaman saya disini tidak secantik kota ini”.

“Saya seorang TKW, tetapi sekarang saya ingin bekerja di negara saya saja, ingin mengolah tanah pertanian bapak saja”, jawabnya.

Tiba-tiba, een bercerita tentang dirinya. Setahun yang lalu, rumah een tampak hangat. Ibu dan bapaknya seorang petani yang sangat lemah lembut ke semua orang. Adiknya yang masih kecil berumur sekitar 6 tahun. Usia saat-saat menyiapkan untuk sekolah dasar. Een seorang yang berbakti dan dia pun membantu orang tuanya ke sawah di sela-sela sekolahnya. Dia tamatan SMA. Keterbatasan orang tuanya tidak mempunyai dana untuk menyekolahkan een sampai ke tingkat perguruan tinggi. Mendengar cerita tetangganya yang menjadi TKW di Arab Saudi, Een tertarik untuk mengikut jejak tetangganya itu  dengan harapan dapat menambah pendapatan keluarga.
“Kamu bener-bener akan pergi En” kata bapaknya een.

“Iya pak, Een akan baik-baik saja” Een melihat raut wajah orang tuanya itu yang tampak khawatir. Dengan kegigihan een, akhirnya orang tuanya itu mengizinkan Een pergi untuk menjadi TKW.

Setelah mengurusi semua administrasi, perlengkapan, dan juga mengikuti pelatihan, Een berangkat ke Arab bersama beberapa TKW lainnya, termasuk temannya.

Bagi Een, perjalanan ke luar negeri ini merupakan pengalaman yang pertama. Een ditempatkan di sebuah keluarga yang sangat kaya. Seorang lelaki muda, tinggi, hidung mancung, dan jenggot yang tidak terlalu panjang mendekati Een ketika di kantor TKW di Arab Saudi. Dengan menggunakan bahasa Arab, lelaki itu mengajak Een untuk segera pergi ke rumahnya. Dia majikan Een. Lelaki itu tidak banyak bicara saat di jalan menuju rumahnya. Hanya beberapa pertanyaan yang dilontarkan. Seperti asal tinggal, usia, dan status. Tibalah di suatu rumah yang cukup luas, dengan taman yang cukup luas. Een masuk ke rumah itu mengikuti langkah majikannya dan masuk ke kamar yang disediakan di dekat dapur. Een mulai membenahi barang-barang, melihat daerah sekitar, merasakan panasnya udara Arab, merasakan suasana baru yang belum pernah ia temui.

“Kenapa kamu bawa orang Indoneisa kesini?” Een terkaget tiba-tiba nada meninggi terdengar sampai ke kamar Een.

“Saya ingin orang Filipina, kembalikan lagi dia”.

“Tidak ada orang Filipina, sudah pada diambil oleh keluarga lain”, kata lelaki itu.

Tak lama kemudian suara itu tiba tiba berhenti.  Een jadi terpikirkan kenapa ibu itu menyuruh anaknya untuk kembalikan Een, kenapa tidak mau orang Indonesia. Een pura-pura tidak mendengar. Tiap hari, Een bekerja keras, dari subuh hingga larut malam, dari mulai urusan rumah tangga sampai bulak balik memanggul kayu-kayu dari gunung ke rumah majikannya yang jaraknya cukup jauh.

Setelah beberapa hari Een bekerja di rumah itu, dia mendapat kabar kalau adiknya akan disunat dan keluarganya akan mengadakan syukuran. Rasa sedih timbul dalam hati Een karena dia merasa terasing di rumah itu meski terkadang een sering bertukar cerita dengan sesame TKW ketika mereka bertemu saat belanja di pasar.  Een merasa sedih karena tidak bisa menghadiri acara sunatan adiknya yang masih kecil. Dia hanya bisa mendoakan dan memandangi foto keluarganya yang sudah lusuh itu.

Rasa lelah dan capek terasa setiap harinya karena kerja yang sangat  keras bahkan sampai memindahkan lemari yang cukup besar. Sampai tangan Een kentob. (Een menunjukkan tangannya pada saya, sangat menghawatirkan. Terlihat dari kerasnya kulit yang kentob di tangan itu menandakan beratnya beban yang dia bawa. Tak seperti kulit manusia. Tapi bagaikan kayu yang kentob dipukul dengan palu, bukan lebay, ini kenyataan). Een pun terus melanjutkan ceritanya, dan label “don’t be disturbed” yang sedang saya pegang pun saya sobek. Tak jadi saya tempel.

Tak jarang majikan yang perempuannya itu menyuruh Een untuk mengundurkan diri karena dia tetep ingin pembantu dari Filipina. Dia merasa tersiksa hati dan raganya. Tapi apa boleh buat, ini sudah keputusan dia sendiri dan harus menanggungnya sendiri.

Tibalah H-1 acara sunatan adiknya Een. Rumah Een tampak ramai dipenuhi saudara dan para tetangganya. Makanan-makanan sudah dipersiapkan tak lupa kue tar sederhana yang diatasnya ada patung seorang anak laki-laki yang disunat. Semua riang gembira. Siang itu, bapaknya Een pergi ke ke desa lain karena ada beberapa undangan yang belum dikasih. Hujan deras menyelimuti siang itu.

Een begitu rindu kepada keluarganya. Hingga suatu hari dia meminta izin untuk pulang dulu ke Indonesia untuk mengunjungi keluarganya. Rasa kangen yang begitu memuncak setelah setahun tidak pulang. Een pulang dengan wajah gembira membayangkan keluarganya, rumahnya yang sangat sederhana, teman-teman di kampungnya, dan pesawahan di kampungnya.

Tuk..tuk..tuk..Een mengetuk pintu rumahnya yang tampak sepi. Jarang-jarang jam segini tampak sepi, biasanay jam segini rumah ramai dengan penggorengan ibunya yang sedang memasakan makan siang untuk bapaknya dan juga mentimun dan hasil kebun lainnya yang sedang dicuci oleh bapak dan adiknya.
“Assalamualaikum”
“Ibu..Bapak..!!!”, seru Een dengan rasa ketidaksabaran ingin bertemu dengan kami.
Trek, suara kunci dibuka. Keluarlah ibu Een. Ibunya tampak sejenak memicingkan mata memastikan siapa yang sedang dilihatnya. Dia tampak terkejut saat ibu itu menyadari kalau anaknya yang pergi jauh kini di depan mata. Sengaja Een tidak memberitahu kedatangannya dengan maksud memberi kejutan kepada keluarganya.
“Een?”
“Ibu!!”
“Ini Een?”
“Iy, ibu, ini Een”
Langsung mereka saling berpelukan. Dan ibunya Een mempersilahkan masuk. Adiknya langsung menghampiri. Sambil membawa barang bawaanyanya, Een bercerita tentang pengalamannya. Tiba-tiba Een teingat akan bapaknya.

“Ibu, bapak kemana”

”Oh bapakmu lagi pergi En”
“oh”

Een kemudian bers-beres kamar yang dulu menjadi kamarnya.
Keesokan harinya een berkeliling kampung. Bersapa dengan para tetangganya.
Sudah 3 hari Een pulang kampung, tapi bapaknya tak kunjung pulang.
Suatu malam Een, ingin menanyakan kepada ibunya kemana bapaknya pergi, keluar jawa kah? Tetapi malam itu ibu Een tampak sudah tertidur pulas.

“Een, jaga dirimu ya nak” wajah bapaknya dan suaranya muncul di mimpi Een. Terasa sangat dekat. Een langsung terbangun. Pagi-pagi Een langsung bercerita tentang mimpiny itu kepada ibunya. Tiba-tiba ibunya menangis. Dan langsung meninggalkan Een. Een merasa bingung.

“Kemanakah bapak perginya?, setega itukah bapak meninggalkan kami? lalu, kenapa ibu menangis? trus kenapa beberapa tetangga saat melihat Een itu menangis?” apakah mereka kasihan karena Een harus kerja sampai ke Arab?” pikir Een sambil tampak kebingungan.

Een berusaha berfikir positif kepada bapaknya yang pergi sudah lebih dari 5 hari itu.  Een pergi ke rumah saudaranya ingin menanyakan perihal bapaknya.

“Bapak pergi kemana ya? Tumben bapak pergi cukup lama. Padahal belum pernah bapak pergi sampai 5 hari tanpa ibu?” kata Een kepada saudaranya. Saudaranya langsung terdiam.

“Kenapa diam? Kenapa setiap orang yang Een tanyain kemana bapak kok pada diam dan akhirnya menangis? Termasuk ibu. Sebenarnya ada apa? Apakah bapak meninggalkan ibu? Bapak pergi kemana?” tak kuasa saudaranya meneteskan air mata.

“Bapakmu…bapakmu…”

“Bapak kenapa bu? Bapak pergi kemana?”

“Bapakmu sudah tiada” kata ini membuat een merasa bingung

“maksdunya?”

“Bapakmu pergi untuk selamanya, bapakmu meninggal” Een langsung terdiam, tak bisa berpikir apa yang barusan dia dengar. Rasa kaget yang luar biasa membuat dia merasa sesak.

“Kenapa dengan bapak?”

Dulu, saat adikmu akan disunat, bapakmu sangat semangat, mulai dari menyiapkan makanan, baju adikmu, sampai nyebar undangan. Hari sebelum acara sunatan, bapakmu pergi ke desa lain untuk mengantarkan undangan yang masih ada beberapa lagi. Bapakmu begitu semangat mengantarkan undangan meski saat itu hujan deras dan dia rela jalan kaki menembus beceknya tanah karena air hujan. Saat di jalan, ada motor yang sangat kencang menabrak bapakmu yang sedang nyebrang. Bapakmu tak sempat dilarikan ke rumah sakit. Dia langsung meninggal dunia” cerita saudaranya itu.

“Bapak….!!!” Sambil menangis, Een teriak.

“Kenapa dulu tidak ada yang memberitahu Een?’ Kenapa semuanya seakan-akan tidak ada apa-apa?” sambil terisak-isak.

“Karena kami khawatir kamu disana menjadi sedih” Een pulang ke rumahnya dengan lemas hingga dia diantar oleh saudaranya. Ibunya sedang menanti Een disana dengan wajah yang sedang sedih.

“Ibu…”. Ibunya sedang membereskan baju-baju bapaknya sambil menangis.

Beberapa hari kemudian, Een kembali ke Arab Saudi  lagi.  Kejadian bapaknya membuat keyakinan dia semakin kuat untuk bekerja di Arab Saudi karena dia harus membiayai keluarganya.

“Tiap hari saya bekerja dari jam 2 malam sampai jam 12 malam lagi bahkan terkadang saya tidak ada waktu untuk tidur.  Tulang-tulang  terasa rapuh. Semua dikerjakan bagaikan kuda yang dipaksa dipacu.    Hampir tiap hari saya mendapat cacian dari majikan saya. Belum selesai mengerjakan ini, disuruh mengerjakan itu, sambil ngedumel kerjaan saya tidak bagus. Padahal saya sudah berusaha keras. Dan sering sekali saya disuruh mengundurkan diri karena dengan terang-terangan majikan saya mengatakan kalau dia ingin TKW dari Filipina yang katanya kuat-kuat dibandingkan TKW Indonesia. Majikannya itu sering membanding-bandingkan saya dengan salah satu TKW majikan lain dari Filipina. Padahal orang yang sering dibanding-bandingkan dengan saya itu cenderung kasar, apalagi ke anak-anak, sering mukul ke anak majikannya saat majikannya tidak ada, melimpahkan pekerjaannya ke teman saya yang dari Indonesia, tetapi majikannya tidak mengetahuinya, tak ada yang berani mengadu, karena toh saat kami mengadu, majikan akan membela mereka”.

“Hingga tak tahan lagi, akhirnya saya memutuskan untuk berhenti jadi TKW dan ingin menjadi petani saja, mengolah sawah dan kebun peninggalan bapak saya meski uang yang dihasilkan sedikit, tapi saya cukup tenang, tak dihantui rasa takut dari menit ke menit, dan saya pun mengumpulkan dana untuk pulang dan membayar tiket pesawat” Een menutup cerita pribadinya itu seiring dengan datangnya pramugari menawarkan minuman.

“Semoga kamu selalu diberikan yang terbaik ya En” kata saya.

“terima kasih, kamu sangat baik sekali, maaf jadinya saya tadi malah menceritakan pribadi saya”
“oh tidak apa-apa”, kata saya.

“Saya senang bertemu dengan mbak, selamat berjuang ya. saya akan mendoakanmu semoga kamu berhasil dan mengharumkan negara kita ini. Saya bertumpu padamu” kata Een.

“Terima kasih Een atas doanya, kita saling mendokan”. Tak terasa air mata saya mulai menetes. Begitu terharu. Tak terbayangkan jika saya berada di posisi Een. Saya yang sebelumnya begitu merasa bangga sepulang dari konferensi karena merasa nama Indonesia begiu dipuji-puji oleh mahasiswa International saat konferensi.

Dan kita mungkin yang sebelumnya begitu merasa sudah cukup dengan pengalaman-pengalaman kegiatan kita di kampus atau di luar kampus, berbagai kegiatan yang kita lakukan, an, yang membuat kita merasa telah berkontribusi.,,, Ternyata PR kita begitu besar di luar sana.

Selesai bercerita, kami pun tertidur pulas.

“Mbak, mbak, maaf mengganggu, itu, pramugarinya bertanya, saya ga ngerti bahasa Inggris mbak”, tiba-tiba saya terbangun dan spontan menjawab apa yang ditanya pramugari itu.

“Mbak, maaf, saya ingin minum, tapi saya ga bisa bilangnya, tolong mintain ya mbak”, kata Een.
“Een mau minum apa?”
“Air putih aza” jawab Een.
Langsung saja saya mintain minum untuk Een. Dan saat itu juga tiba makan siang. Hmm makan siang kali ini sepertinya mengawali saya makan nasi kembali. Saya pun memilih menu untuk makan siang. Sedikit-sedikit saya melirik ke arah Een. Terlihat Een sedang melirik kea rah saya.
“Mbak, makan apa?”
”Hmm..saya makan ini aza”, sambil saya tunjukkan.
“Emang itu apa mbak?”
“Ikan cincang”, jawab saya
“Saya juga sama kaya mbak ya”.
Saya pun memintakan 2 menu yang sama.
“Do you wanna something drink?”, tanya pramugari.
“Yes, just orange juice”, Ijawab saya.
“and you?”,  tanya pramugari ke Een.
Een hanya bengong dan langsung melirik saya.
“Apa katanya?” sambil membisikkan kepada saya.
“Minumnya mau apa?” jawab saya.
“Mbak apa?”
“Jus jeruk”, jawab saya
“Tolong bilangin, saya sama kaya mbak ya”. Jawab Een.

Saya pun tersenyum melihat begitu polosnya Een. Begitu tulusnya Een. Sepertinya tak ada kata gengsi didirinya. Een..een..dibalik sikapnya yang ceria, ternyata begitu banyak pengalaman pahit yang dialaminya. Een..een…cukup menginspirasi saya di hari itu.

Tak terasa sampailah di Bandara Soekarno Hatta. Saya dan Een saling mengucapkan salam perpisahan. Dan saya pun kembali berkumpul dengan teman-teman delegasi Indonesia. Terpampang disana tulisan “Selamat Datang Pahlawan Devisa”. Ya, inilah sambutan untuk Een dan teman-temannya yang pantas menerimanya meski mungkin tak cukup hanya dengan kalimat itu. Lirih saya dalam hati.