Biopiracy merupakan pencurian sumberdaya hayati untuk keuntungan individu tertentu tetapi merugikan komunitas lainnya, yang dalam hal ini berarti pembajakan sumber genetik lokal untuk kepentingan asing. Tindakan biopiracy biasanya diawali dengan bioprospeksi, yaitu proses pencarian sumber daya hayati terutama sumberdaya genetika, material biologi untuk kepentingan komersial. Sedangkan Intellectual Property merupakan kekayaan pengetahuan masyarakat lokal atau hasil penelitian yang berhubungan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam.
Biasanya pembajak mencari informasi langsung pada masyarakat lokal tentang pengetahuan tradisional masyarakat setempat dengan cara yang sangat mudah, mengumpulkan sampel, dan membawanya pulang. Tidak ada hukum yang berlaku.
Sementara, masyarakat tidak tahu perusahaan-perusahaan multinasional, khususnya yang bergerak di bidang pangan dan obat-obatan terus melakukan percobaan dan penelitian terhadap tanaman yang telah dikumpulkannya itu guna mengembangkan dan menemukan spesies baru yang memiliki keunggulan daripada sebelumnya dengan teknologi mutakhir atau yang dinamakan bioteknologi.
Misalnya mereka mendapat formula obat tradisional dari masyarakat setempat, dirumuskan kembali, diambil sampelnya, dan kemudian diam-diam dibawa ke negara lain serta dipatenkan di sana dan menuai keuntungan sebanyak-banyaknya. Sehingga ketika masyarakat asal hendak menggunakan formula tersebut, mereka harus membayar dengan harga yang tinggi kepada si pemilik paten, yang belum tentu pemilik asli pengetahuan tersebut.
Berikut kasus-kasus pembajakan hayati yang telah terjadi :
- Departemen Pertanian AS dan sebuah perusahaan riset farmasi menerima paten teknik untuk mengekstrak sebuah agen anti-jamur dari Neem pohon (Azadirachta indica), yang tumbuh di seluruh India dan mempatenkan pohon neem itu menjadi milik AS. Padahal setelah ditelusuri dari dokumen-dokumen serta informasi dari masyarakat India, pohon neem merupakan pohon asli dari India. Kantor Paten Eropa baru-baru ini menarik paten nomor 436257 yang diberikan kepada AS dan Perusahaan W.R. Grace untuk fungisida yang diambil dari biji pohon nimba (neem—Azadirachta indica). Hal ini mengakhiri perjuangan lima tahun oleh petani dan kelompok masyarakat di India maupun dunia yang mengajukan tuntutan atas pemberian paten tersebut.
3. Secara diam-diam, perusahaan kosmetik Jepang Shiseido baru-baru ini mendapatkan sembilan hak paten atas produknya yang berasal dari tanaman dari INDONESIA. Beberapa tanaman tersebut adalah kayu rapet, sambiloto, kayu legi, lempuyang, brotowali, beluntas, pulowaras, kemukus, dll yang kesemuanya sudah digunakan selama ratusan tahun untuk rempah dan obat oleh masyarakat nusantara.
4.Saat ini keladi tikus dibudidayakan secara besar-besaran di Malaysia. Kapsulnya banyak dikonsumsi penderita kanker di Indonesia. Karena harganya sangat mahal, hanya kalangan tertentu yang mampu membelinya.
5. Tercatat ada 19 paten tentang tempe, di mana 13 buah paten adalah milik AS, yaitu: 8 paten dimiliki oleh Z-L Limited Partnership; 2 paten oleh Gyorgy mengenai minyak tempe; 2 paten oleh Pfaff mengenai alat inkubator dan cara membuat bahan makanan; dan 1 paten oleh Yueh mengenai pembuatan makanan ringan dengan campuran tempe. Sedangkan 6 buah milik Jepang adalah 4 paten mengenai pembuatan tempe; 1 paten mengenai antioksidan; dan 1 paten mengenai kosmetik menggunakan bahan tempe yang diisolasi. Paten lain untuk Jepang, disebut Tempeh, temuan Nishi dan Inoue (Riken Vitamin Co. Ltd). Tempe tersebut terbuat dari limbah susu kedelai dicampur tepung kedele, tepung terigu, tepung beras, tepung jagung, dekstrin, Na-kaseinat dan putih telur.
Padahal sudah jelas-jelas, tempe merupakan asli Indonesia
Kenyataan ini sungguh menyedihkan sekaligus mengherankan. Kenapa bisa `negara lain mematenkan sesuatu yang merupakan aset negara lain. Kelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati Indonesia pada khususnya, saat ini dihadapkan pada ancaman tindakan pembajakan terhadap keanekaragaman hayati (biopiracy).
Jika dikaji secara komprehensif, terjadinya biopiracy dapat dilihat dari berbagai aspek, pertama, aspek normatif. Secara normatif peraturan tentang kejahatan pembajakan keanekaragaman hayati masih belum ada secara spesifik dan masih sangat lemah. Kedua, ketidaksiapan pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi sistem paten dan tidak diakuinya pengetahuan-pengetahuan lokal.
Oleh karena itu, perlu adanya perlindungan terhadap kekayaan hayati dan kekayaan intelektual baik yang sifatnya mengikat maupun tidak mengikat. Salah satu caranya yaitu hak paten di negara masing-masing yang berdasarkan prinsip keadilan (fairness) dan kejujuran para peneliti. Adapun syarat-syarat paten diantaranya novelty (kebaruan), non-obvious (bersifat inventif), and useful (kebergunaan). Pada permasalahan ini, tiap-tiap negara harus saling melindungi hak kekayaan warga negara lain, menginventarisasi dan mendokumentasi pengetahuan tradisional kekayaan masing-masing.
Namun, dapat dicatat pula bahwa hukum tanpa moral dapat menjadi alat yang lebih berbahaya ketimbang pisau. Paten dan etika Harus diingat bahwa dasar filosofi tentang perlindungan HKI (Hak Kekayaan Intelektual) adalah doktrin hukum alam yang bersumber pada ajaran moral: “jangan mengambil apa yang bukan milikmu”. Doktrin itu dapat dikembangkan menjadi berbagai ajaran moral, antara lain: “jika engkau akan mengambil atau menggunakan apa yang bukan milikmu, mintalah ijin terlebih dahulu kepada pemiliknya”. Doktrin ini merupakan prinsip dasar dari perjanjian CBD (Convention on Biological Diversity). Bahkan dalam konteks perjanjian itu sendiri terdapat prinsip yang juga bersumber pada ajaran etika, yaitu prinsip itikad baik (good faith).
Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk Indonesia?? apakah kita hanya akan bergerak setelah kekayaan kita diambil orang asing??? memberontak saat sudah disahkan???jawabannya..TIDAK...mari bersama-sama melindungi kekayaan negeri kita tercinta ini sedini mungkin....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar