“Congratulations! You have been selected to participate in the 5th Greifswald International Students Festival 2010”, surprise rasanya saat melihat pesan itu di email yang saya buka lewat handphone sambil berjalan ke luar laboratotium setelah praktikum farmakologi. SMS pun mulai berdatangan dari teman-teman yang berasal dari universitas lain yang sama-sama ikut seleksi, baik dari yang lolos seleksi maupun dari yang tidak lolos. Perencanaan pun saya buat mulai dari mengatur jadwal pembuatan paspor, visa, mencari dan membuat list sponsor, melihat jadwal akademik, mencari informasi seputar Greifswald dan Jerman mulai dari mencari informasi harga tiket pesawat, transportasi dalam kota di Jerman, temperatur di kota tersebut saat festival nanti, dll.
Saya belajar di sebuah fakultas yang tidak sedikit orang tahu betapa padatnya jadwal praktikum di fakultas saya ini. Sehingga ketika saya menceritakan tentang hal ini kepada salah seorang di bagian kemahasiswaan, tanggapan yang keluar bukan memotivasi bahkan cenderung menurunkan semangat dengan cara mengingatkan saya akan jadwal praktikum dan kuliah saya yang padat juga jadwal UAS yang sebentar lagi akan berlangsung sehingga lebih tidak mengizinkan untuk pergi. Ya, saya pun menyadarinya. Tetapi semangat saya tak mudah untuk dipadamkan karena toh dulu pun saya pernah diingatkan untuk tidak aktif di lembaga kemahasiswaan di luar fakultas dengan alasan kekhawatiran menurunnya nilai akademik saya. Tapi saya memberanikan diri untuk belajar dimana pun karena yang bertanggung jawab terhadap diri saya adalah diri saya sendiri dan saya selalu berfikir bahwa tidak semua hal dapat dipelajari di kelas ataupun di laboratorium.
Grup ”Indonesia Delegates for Gristuf 2010”saya buat untuk mencari mahasiswa Indonesia yang lolos seleksi. Disinilah awal perkenalan saya dengan teman-teman dari satu universitas dan dari universitas lain yang diterima. Grup ini cukup ramai dengan diskusi-diskusi mulai dari waktu pemberangkatan, apa yang akan ditampilkan saat malam kebudayaan, makanan khas Indonesia yang akan dibawa, mencari teman yang memilih workshop yang sama, serta sharing tentang pembuatan visa karena katanya pembuatan visa Jerman tidak semudah pembuatan visa ke negara lain.
Semester ini cukup padat dengan praktikum. Hampir tiap hari praktikum bahkan sampai sore, kecuali hari jumat tidak ada praktikum tetapi jadwal kuliah sangat padat dan juga tak lupa aktivitas organisasi. Sampai saya baru menyadari ternyata waktu pembuatan visa sudah sangat mepet. Saya putuskan untuk meluangkan waktu untuk bikin visa. Tak lupa pesan tiket pesawat ke travel via telepon. Siang itu tiba-tiba tercetus untuk langsung pergi ke travel itu yang berada di sekitar thamrin untuk ngambil surat asuransi perjalanan sebagai salah satu persyaratan membuat visa karena rencananya hari senin pagi saya akan langsung pergi ke kedubes Jerman. Siang itu saya langsung berangkat, rencana sore pulang lagi ke Jatinangor dengan sudah pertimbangan kemacetan Jakarta. Tiba di lebak bulus, kendaraan yang terpikirkan adalah naik bus way, meski lebih cepat naik ojeg, tapi saya sungguh tidak berani untuk naik ojeg di kota ini. Cukup lama dan cukup melelahkan dengan kemacetan Jakarta yang sudah tidak asing lagi. Tidak sesuai rencana, saat magrib tiba saya masih di bus way. Saya baru tersadar saya sendirian saat itu, tak pernah saya pergi tanpa keluarga atau teman yang menemani. Rasa khawatir pada diri sendiri mulai singgah. Apalagi setelah beberapa orang yang ngajak ngobrol saya bilang ”sendirian ya? Hati-hati saja” dengan nada yang semakin membuat saya khawatir.
Tidak ada kata lain selain Bismillah dan bertegur sapa lewat sms dengan sahabat dekat untuk menghilangkan kekhawatiran. Belum sampai di thamrin, Hp lowbath. Tiba di halte busway tepat depan Bank Indonesia. Keluar halte bis sangat sepi dan langsung mencari-cari tempat travel itu sambil bawa tas dan map yang berisi persyaratan. Akhirnya sampai juga di sebuah kantor travel. Asuransi pun dibuat dan langsung diprint. 19.00 langsung pulang. ”eh sebentar itu hp masukin dulu ke tas, tidak boleh keluar dulu sebelum hp dimasukan, biasa suka ada yang jail ” kata-kata mbak-mbak yang di travel itu semakin meningkatkan kadar kekhawatiran terhadap diri saya. Lari-lari saya naik bus way sampai akhirnya saya tak sanggup untuk keluar halte bus way karena semakin larut. Beberapa menit kemudian sahabat saya pun datang menjemput dan rasa aman dalam diri saya kembali normal.
Hari senin pun tiba. Pagi-pagi saya berangkat. Langsung naik bus way dari kampung rambutan. Saya naik bus pertama yang maju pagi itu dengan penumpang yang masih kosong dan jalanan belum macet. Tetapi di perjalanan bus way tiba-tiba mogok. Celotehan-celotehan dengan nada marah dari para penumpang pun mulai terdengar. Saya berusaha tetap duduk santai meski dalam hati pun bertanya kenapa bis yang saya tumpangi yang mogok, padahal banyak bus way lainnya. Pas banget, sangat menguji kesabaran. Terpaksa harus nunggu bus way lain lewat. Bus way lain lewat dengan penumpang yang sangat penuh. Yah tidak apa-apa berdiri juga yang penting nyampe. Itu hal pertama yang terpikirkan. Sekitar 2 jam saya harus berdiri dengan tas yang lumayan berat ditambah map yang penuh dengan arsip. Pundak ini sangat pegal dan telapak tangan sudah memarah karena selama itu berpegangan ke tali pegangan bis. Sungguh diluar kebiasaan. Jam setengah sembilan sampai di halte depan BI. Membuat surat asuransi untuk pulang dan membuat kartu ISIC (International Student Identity Card) untuk dapat diskon harga tiket peswat. Disana bertemu dengan Ari (mahasiswa UNJ) yang juga peserta Gristuf yang katanya baru dari kedubes dan disuruh pulang lagi karena ukuran foto yang salah. Ternyata foto saya pun ukurannya salah. Harus sangat teliti. Seharusnya gambar muka 80% ini malah 70%, juga ukurannya harus 4,5 tidak boleh 4,6. Cukup lama membetulkan ukuran foto di percetakan foto sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul 10.00. Saya dan teman saya langsung pergi ke kedubes. Hanya sekitar 5 menit dari sini. Dan antriannya sudah sangat panjang. Pukul 11.20 waktu penutupan permohonan visa, sehingga ketika saya masih ngantri di depan kantor itu, saya pun tak sempat masuk karena waktu sudah menunjukkan pukul 11.30. Terpaksa saya harus tinggal di Jakarta satu hari lagi. Langsung saya telepon orang tua menanyakan saudara yang rumahnya paling dekat dengan Jakarta Pusat. Tepat setelah shalat ashar, saudara menjemput untuk pergi ke rumahnya.
Setelah sholat subuh saya langsung sipa-siap untuk berangkat dengan harapan dapat antrian paling awal. Di rumah saudara itu sudah cukup ramai setelah subuh ini. Ya, optimis datang lebih awal ke kedubes apalagi diantar. Tetapi optimis itu mulai hilang saat saudara saya ngajakin masak dulu, selanjutnya ngajakin ngobrol-ngobrol dulu yang membuat waktu semakin siang. Rasa cemas mulai datang saat mereka ngajak saya untuk bersilaturrahmi ke rumah mertuanya. Langsunglah saya tolak karena saya harus berangkat pagi-pagi, bukan bermaksud tidak ingin bersilaturrahmi. Rasa cemas semakin meningkat karena saya harus ikut. Ya, memang disana hanya sebentar saja, tetapi itu cukup menambah waktu semakin siang. Sampai akhirnya jam 7.00 saya baru diantar. 08.30 sampai di kedubes. Ternyata memang benar perkiraan saya, antrian sudah sangat panjang, meski tidak sepanjang hari pertama. Kembali mulai cemas lagi. Khawatir tidak sempat masuk. Mulailah otak saya memperhitungkan perbandingan orang yang keluar dengan orang yang masuk ke kantor itu sampai akhirnya perhitungan saya mengatakan bahwa saya tidak akan bisa masuk lagi dengan antiran saya yang masih di belakang. Dan memang, saya tidak sempat masuk, 11.30 pukul permohonan pengajuan visa pun ditutup. Saya dekati pintu untuk nanya-nanya ke satpam, tapi seperti hari kemarin, kepala visanya turun bule itu mengusir kami yang masih berkerumun di depan kantor kedubes ”please move now”, untuk yang kedua kalinya saya mendengar kata-kata itu, sepertinya bule itu tiap hari mengeluarkan kalimat itu kepada pengunjung kedubes yang tak kebagian masuk.
Harus kemanakah kaki ini melangkah. Sambil mempertimbangkan apakah saya balik lagi ke Jatinangor atau tetap stay di Jakarta, saya berjalan ke pinggir gedung kedubes itu mencari tempat berteduh. Tepat di pinggir bundaran HI saya istirahat sejenak sambil melihat air mancur di bundaran itu. Cukup meneduhkan meski suhu disana sangat panas hingga wajah terasa terbakar. Tapi istirahat berakhir seiring mendekatnya orang gila ke posisi dimana saya berdiri, dengan tatapannya yang seperti akan menerkam saya, saya langsung lari tak peduli apakah dia mengikuti atau tidak. Sampailah saya ke kerumunan orang. Saya duduk sejenak dan menenangkan diri di taman dekat kedubes itu dan orang gila itu embali ke posisi asalnya. Barulah disana saya bisa berfikir jernih dan saya putuskan untuk kembali ke kedubes lagi besok dengan pertimbangan jika ditunda lagi, visa saya akan terlambat diproses.
Akhirnya saya naik busway dan naik angkot menuju rumah teman yang rumahnya paling dekat dengan kedubes. Ya, memang hanya 15 menit. Teman pun menunggu di deket Jembatan casablangka. Saya naik angkot dan turun sesuai arahan teman saya itu, yaitu di Baso casablangka karena katanya itu sangat terkenal dan hampir semua supir angkot tahu letaknya, ”bang ke baso casablangka ya” kata saya, ”siap mbak”, kata supir angkot. Tak lama kemudian supir angkot pun bilang ”disini mbak turunnya”, agak ragu karena tak ada tukang baso disana, ”mana bang baso casablangkanya?”, ”biasanya disini mbak tapi mungkin nggak dagang”. Saya turun dengan keragu raguan karena tukang angkot itu menunjukkan tempat tukang baso casablangka tepat depan Bank Mandiri, mana mungkin ada tukang dagang disana pikir saya. Akhirnya saya beritahukan keberadaan saya, sambil minum jus mangga untuk meredakan tenggorakan yang sangat kering. Menunggu 1 jam tak kunjung datang teman saya. Dan ternyata memang dugaan saya benar, ternyata memang tidak ada tukang baso di depan Bank itu, dan jembatan casablangka masih lumayan jauh dari itu. Tak tahu apa tukang angkot itu membohongi atau memang dia tidak tahu, ada-ada saja. Tapi ah ga mau pusing yang pasti sekarang secepatnya ketemu teman saya itu karena hp pun mulai menunjukkan tanda lowbath. Langsung naik angkot dan akhirnya turun setelah jembatan casablangka. Akhirnya kami bertemu juga. Langsung saja kami pergi ke tempat baso casablangka yang sebenarnya untuk mengisi perut yang dari tadi pagi belum diisi apapun.
Keesokan harinya saya kembali lagi ke kedutaan itu. Jam 05.30 saya berangkat dari rumahnya dan tepat pukul 06.45 saya berada di depan kedutaan Jerman dan mendapat antrian ke 25. Antrian pun semakin siang semakin panjang dengan orang-orang yang pernah saya temui dua hari yang lalu. Ada dokter spesialis yang akan menghadiri seminar, apoteker yang akan memberi laporan ke kantor yang di Jerman, ada anak muda seumuran saya yang akan pergi ke Jerman hanya utnuk jalan-jalan, dll. Akhirnya saya bisa masuk ke kantor itu pada pukul 10.00. Pemeriksaan persyaratan begitu ketat, dari mulai cara pengisian formulir, surat undangan dari panitia GrIStuF, paspor, tiket pesawat, bahkan sampai foto. Tidak sedikit orang bulak balik datang ke kedubes Jerman dengan alasan persyaratan kurang atau ada yang salah misalnya kesalahan pada foto yang seharusnya 4,5 tapi 4,6 atau alamat yang akan dikunjungi yang dianggap kurang jelas. Alhamdulillah persyaratan yang saya ajukan tidak ada kekurangan sedikitpun sehingga saya langsung mendapat jadwal tanggal pengambilan visa. 25 Mei. Jadwal pengambilan visa tepat dengan tanggal pemberangkatan. Lumayan menghkhawatirkan.
Selain persiapan paspor, visa, dana, dan keperluan lainnya, saya mempersiapkan bahan diskusi sesuai workshop yang saya pilih di festival yaitu tentang ”Biopiracy and Intellectual Property”. Persiapan dimulai dari pencarian bahan di internet, membaca buku, diskusi dengan salah satu dosen di Fakultas Farmasi, hingga diskusi dengan seorang pakar Hak Kekayaan Intelektual di Universitas Padjadjaran yaitu Ibu Miranda Risang Ayu SH, LLM, PhD sebagai dosen hukum sekaligus kepala UPT HAKI Unpad.
Siang itu, setelah mengikuti perkuliahan di Jatinangor, saya langsung melesat naik damri ke Dipati Ukur untuk menghadiri talkshow tentang HAKI dengan pembicara Ibu Miranda yang bagi saya akan cukup menambah pengetahuan saya untuk bekal diskusi nanti di Jerman. Acaranya sudah dimulai satu jam yang lalu, disana tampak ramai, peserta yang hadir hampir semua mahasiswa fakultas hukum, tak ada yang saya kenal disini, tapi cuek saja toh mereka tidak akan memperhatikan saya. Saya duduk di kursi paling belakang di tempat talkshow itu, terlihat ibu Miranda sesekali melirik saya ketika saya datang. Saya perhatikan apa yang dibicarkan di talkshow, sesekali melihat sekeliling. Pergi ke tempat registrasi melihat informasi-informasi dan nulis presensi. Sudah saya duga, isi presensi itu semua mahasiswa Hukum dan bahkan sepertinya menjadi presensi perkuliahan. Saya melihat buku-buku keluaran terbaru tentang HAKI, ada satu buku yang membuat saya tertarik dengan isi tentang HAKI yang dikemas dalam bahasa yang ringan dan saya berencana untuk membelinya setelah talkshow selesai. Tibalah sesi tanya jawab. Semua yang bertanya itu mahasiswa fakultas hukum. Saya mengacungkan tangan untuk bertanya dengan rencana tak akan bilang identitas saya (fakultas saya) karena saya merasa terasing disana. Tapi rencana saya gagal ketika saya maju untuk bertanya, ibu itu malah menceritakan tentang saya termasuk fakultas saya. Serempak peserta talkshow melirik ke arah saya dibarengi dengan tepuk tangan yang cukup membuat saya rasanya ingin tiba-tiba menghilang dari tempat itu. Meski saya tahu itu sebagai tanda apresiatif mereka. Saya pun melanjutkan pertanyaan saya seputar hukum international Haki. Beberapa menit kemudian saya kembali dipanggil ke depan untuk menerima buku tentang Haki. Senang rasanya mendapat buku yang saya inginkan dan gratis pula, untung tadi saya belum beli, lirih saya dalam hati.hehe....akhirnya talkshow pun selesai dilanjutkan dengan penampilan artis nggak tahu artis mana yang pasti ketika disebut-sebut namanya, serempak orang-orang menyebut namanya sambil tepuk tangan, dan saya langsung beranjak pergi seiring artis itu naik ke panggung karena saya harus melanjutkan diskusi dengan ibu itu di ruangannya.
<span>25 Mei 2010</span>
Sebelum pemberangkatan ke Jerman, saya pergi ke kedubes Jerman untuk mengambil visa, sesuai jadwal pengambilan yang diberikan oleh petugas kedubes tanggal 25 mei pukul 13.00. pengambilan visa pun tak kalah panjangnya dengan pengajuan permohonan visa. Saya pun sudah memprediksi sehingga saya datang lebih awal yaitu sekitar pikul 10.00 dan saya mendapat antrian awal. Betapa degdegannya detik-detik pengambilan visa karena sangat tidak lucu sudah dianterin keluarga tapi tidak jadi berangkat dengan alasan visa ditolak. Rasa degdegan mulai hilang saat saya mulai membuka paspor dan disana sudah ada cap visa shengen tanda bahwa permohonan visa saya diterima. Saya langsung pergi ke bandara Soekarno-Hatta. Dan langsung mencari-cari teman-teman yang berencana berangkat bareng. Berkumpulah 8 delegasi Indonesia dengan universitas yang berbeda-beda, UGM, UNJ, UII, UI. Penerbangan menggunakan pesawat Qatar pukul 16.30, transit di Doha sekitar pukul 12.30 malam. Sekitar pukul 13.30 penerbangan ke Jerman dan sampai di Berlin tanggal 26 mei 2010 sekitar pukul 08.00. Perjalanan sekitar 20 jam, cukup melelahkan.
<span>26 Mei 2010</span>
08.00 tiba di airport Tegel, Berlin. 20 jam perjalanan menuju Jerman termasuk transit membuat tubuh agak sulit seimbang ketambah bawa ransel yang penuh dengan souvenir untuk dibagikan pas acara dan koper gede. Belum terasa berada di Jerman karena suhu udara di dalam airport yang masih hangat, meski banyak orang-orang bertubuh tinggi dan berkulit putih serta berjubah eropa berlalu lalang. Sebelum berangkat ke tempat acara di kota Greifswald, saya bersama teman-teman Indonesia lainnya pergi ke KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Berlin. Meski sangat mendadak tetapi mereka begitu baik menyambut kami. Dari airport Tegel ke KBRI naik bis sekitar 15 menit turun di stasiun Haufbanhof, jalan kaki mencari letak KBRI. Sekitar 2 jam kami berkeliling daerah tempat kami turun bis, tapi KBRI tak kunjung ketemu hingga hampir putus asa karena merasa begitu lelah dan harus bawa koper kesana kemari. Malu karena baju sudah sangat kusut dan ekspresi wajah sudah tidak menentu. Akhirnya tibalah di KBRI dan mendapat sambutan dari dubes disana, bangga rasanya saat saya menoleh ke sebuah tulisan yang berada di dinding “Selamat Datang di Rumah Indonesia”. Disana kami istirahat sejenak, bercerita, menanyakan transportasi yang efektif untuk bepergian di sekitar Jerman, minta jadwal sholat, ikut ngecas hp, ikut scan, makan siang bersama serta ngobrol-ngobrol bersama pihak KBRI terutama dubes bidang pendidikan yaitu pak Yul. Sepertinya kami sangat merepotkan. Pukul 13.00, saatnya berkeliling kota Berlin dengan menggunakan kereta lokal, melihat Brandenburger (symbol pemersatu Jerman Barat dan Jerman Timur), sungai spirits. Foto-foto itu hal yang paling penting. Perjalanan di Berlin sangat singkat karena harus segera berangkat ke Greifswald. Berlin-Greifswald sekitar 3 jam naik kereta dari stasiun Haufbanhof. Tiba di stasiun Banhof di Greifswald pukul 21.30 dengan masih terang seperti jam 5 sore di Indonesia. Ketika kami semua akan turun dari kereta, setiap orang membawa koper besar, memerlukan beberapa menit untuk menurunkannya keluar sehingga ketika teman-teman yang 6 orang sudah turun, tinggal saya dan teman saya dari UGM yang akan keluar dari kereta, tiba-tiba pintu kereta tertutup, saya coba pijit tombol untuk membuka pintu, tetapi pintu tidak bisa dibuka dan kereta pun terus maju. Paniklah. Tak ada yang bisa dilakukan selain duduk tertunduk. Hal pertama yg terpikirkan yaitu pergi ke tempat masisnis. Tapi kami pun menyadari kami berada di gerbong yang tengah.bahkan deket gerbong belakang tak mungkin kami sampai ke tempat masinis. Kami mencari pegawai keretanya mengadu nasib dan kami kami harus turun di stasiun selanjutnya yaitu Stralsund, sekitar 30 menit dari Greifswald. Pukul 22.00 kereta tiba di Stasiun Stralsund dan kami segera naik kereta lain yang akan menuju ke Berlin. Namun saat akan naik kereta, penjaga kereta menolak kami untuk naik tetapi setelah kami menjelaskan kejadian yang sebenarnya, akhirnya kami pun diperbolehkan untuk naik kereta itu. Jadwal pemberangkatan kereta pukul 22.02, dan kereta pun berangkat sesuai jadwal yaitu 22.02. Sangat tepat waktu. Kereta yang menuju Berlin itu berhenti di stasiun Greifswald dan kami pun langsung disambut panitia di stasiun. Check in di pusat informasi (Info Point) Gristuf yang nama tempatnya yaitu ikuwo. Disana saya bertegur sapa dengan teman-teman Indonesia yang lebih dulu datang dan dengan peserta dari Negara lain. Saya mendapat informasi untuk selama festival serta langsung diperkenalkan dengan host saya dan roommates saya yang senasib dengan saya di kereta tadi.
<span> </span>
<span>27 Mei</span>
Pagi pertama di Greifswald. Sangat disorientasi waktu dan suhu. Suhu disana sangat..sangat dingin…140C hingga 80C.. Notes pertama dari host saya karena pagi-pagi kami tak sempet ketemu “ Good morning ! Please enjoy the volls and the pastes. Put the glasses back in the fridge please. Have a nice day !. Hari pertama festival, belum memasuki workshop, masih pendekatan antar peserta dan dengan panitia, penjelasan seputar kegiatan-kegiatan, serta keliling Greifswald bersama-sama peserta lainnya. Cukup banyak yang saya pelajari. Lampu lalu lintas bagi pejalan kaki membuat saya cukup bangga pada negara ini. Membuat semuanya menjadi teratur, mungkin tingkat orang yang tertabrak mobil itu sangat jarang disini. Kedisiplinan warga Jerman dalam membuang sampah yang begiru tertib hingga dalam satu rumah itu rata-rata memiliki 4 tempat sampah (untuk sampah plastic, organic, botol, dan paper). Alur jalan bagi sepeda dan bagi pejalan kaki pun sangat rapi dan terpisah sehingga tak ada yang saling mendahului. Dan untuk belanja di sebuah minimarket, harus siap-siap tas sendiri karena tidak akan diberi kantong keresek karena perhatian mereka yang bagitu besar akan global warming. Tak ada sampah berserakan disana atau sungai yang penuh air warna hitam yang dipenuhi botol-botol kosong.
<span>28 Mei</span>
Acara hari ini mulai dengan workhop. Semua peserta disebar dan berkumpul sesuai tema workshop yang diambil. Hari pertama workshop yaitu perkenalan, games, dan diskusi pendahuluan seputar Biopiracy and Intellectual Property. Peserta workshop ini sekitar 13 orang yang dipimpin oleh dua orang team leader. Peserta worksop terdiri dari berbagai negara yaitu Pakistan, Ukraina, Rusia, Moskow, Jerman, Azerbaizan, dan lain-lain. Workshop dipimpin oleh team leader yang bernama Philipp yaitu mahasiswa tingkat akhir jurusan Biomatematika Universitas Greifswald dan Frithjoff mahasiswa tingkat akhir jurusan Biokimia Universitas Greifswald. Perkenalan dimulai dengan nama dan negara asal serta menunjukkan letak negara masing-masing pada peta dunia yang telah dipasang di dinding. Pada kesempatan ini pun saya mengenalkan berbagai daerah wisata di Indonesia. Kebanyakan orang berasal dari Negara eropa yang tidak terlalu jauh letaknya dengan Jerman. Mereka sangat kaget melihat jarak yang begitu jauh antara Jerman-Indonesia ketika saya tunjukan letak Indonesia pada mereka serta saya sebutkan sekitar 20 jam untuk menuju Jerman. Suhu pada hari itu sekitar 150 C, suhu yang sangat dingin hingga ketika kami bercanda di sela-sela workshop team leder berkata “Indonesian is freezing” karena melihat saya kedinginan. Diskusi dimulai dengan pengertian yang sebenarnya tentang Biopiracy dan intellectual property, contoh kasus, sharing kasus masing-masing negara. Workshop hari ini berakhir pukul 17.30 dan dilanjutkan makan malam bersama seluruh peserta GrIStuF yang bertempat di Menza. Acara dilanjutkan dengan “official ceremony”, yang terdiri dari pengenalan panitia serta sambutan dari beberapa pimpinan Universitas Greifswald.
<span>29 Mei </span>
Hari ini hanya saya yang datang tepat waktu pada workshop kali ini. Di tempat itu sudah ada kedua orang team leader. Saya dan team leader bertukar cerita diluar pembahasan workhop. Hidangan minuman tak pernah ketinggalan. Kopi, coklat, Soya milk dan air hangat cukup membuat hangat meski tak sampai menaikkan suhu tubuh. Beberapa menit kemudian peserta dari negara lain pun berdatangan, dari Ukraina, Moscow, dan sebagainya. Workshop dimulai dari jam 08.30 dengan pembahasan seputar paten. Tak lupa games diselipkan di sela-sela workshop untuk mengurangi kepenatan saat workshop. Workshop dibagi ke beberapa kelompok kecil yang kemudian membahas kasus-kasus pembajakan yang terjadi di dunia. Selanjutnya kami bersama-sama mencari kasus paten atau kasus pembajakan lainnya yang dilakukan oleh beberapa perusahaan besar di dunia. Hasil diskusi dipresentasikan dan saya dengan Arseny (mahasiswa dari Rusia) mewakili presentasi kelompok kami. Workshop berlangsung sampai sore hari yang kemudian dilanjutkan dengan acara “welcoming party” yang dilaksanakan pukul 8 malam di Banhof.
<span>30 Mei</span>
Tidak ada kegiatan dari panitia pada hari ini. Waktu kosong saya gunakan untuk mengenal lebih jauh tentang Jerman. Kami berencana untuk pergi ke Laut Baltik. Tapi pagi itu, udara sangat dingin itambah hujan yang membuat kulit semakin ditusuk-tusuk, rasanya tak lucu pergi ke pantai dengan kondisi hujan seperti ini. Akhirnya kami pergi ke Polandia karena ternyata perjalanan Jerman-Polandia hanya memerlukan waktu sekitar 2-3 jam. Saya bersama teman-teman Indonesia yang lainnya berkeliling di salah satu kota di Polandia yaitu Szczecin. Kota yang cukup menarik dengan castle-castle yang membuat saya takjub. Senang rasanya bisa ke negara lain hanya dalam 2 jam naik kereta. Meski sempat diorientasi bahasa saat sampai di stasiun di Polandia.
<span>31 Mei</span>
Workshop hari ini difokuskan pada “How to get patent”. Pada kali ini kami berdiskusi tentang bagaimana untuk mendapatkan patent dan selanjutnya dibagi dalam beberapa kelompok kecil.
Kuliah umum tentang patent oleh Prof. Henkle
Saat menunggu kedatangan Prof. Henkle, beberapa teman workshop termasuk team leader meminta saya untuk mengajari tari saman. Hampir semua peserta workshop mengikuti gerakan saya hingga team leader saya hafal gerakan tari saman. Lucu sekali melihat mereka merasa senang dan bangga saat gerakan saman mereka tidak ada yang salah, dan mereka merasa bangga karena bisa menarikan tarian dari Indonesia. Tari saman pun selesai saat prof. Henkle datang, kuliah umum dari Prof. Henkle pun dimulai. Prof. Henkle merupakan salah satu dosen di Universitas Greifswald dan juga di Berlin. Beliau juga salah satu ahli dalam bidang hak patent. Kuliah umum ini dimulai dengan suatu pertanyaan dari beliau “why are there patents?” yang kemudian beliau mamaparkan tentang seputar patent dari mulai mana apa saja yang bisa dipatenkan dan mana yang tidak bisa dipatenkan, bagaimana nilai paten, bagaimana hak seseorang yang mendapatkan hak paten, sampai prosedur paten di Jerman. Kuliah umum ini diakhiri dengan tanya jawab dan dilanjutkan makan malam bersama Prof. Henkle. Saya langsung menuju ke tempat acara malam budaya karena waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam, jadwal penampilan budaya.
Meeting The Contitent
Dimalam kebudayaan ini, penampilan Indonesia ditunggu tunggu oleh banyak orang tidak hanya oleh peserta GrIStuF lainnya yang sempat mengikuti latihan kami tetapi juga oleh panitia GrIStuF. Di malam kebudayaan bertajuk Meeting of the Continent, lima belas mahasiswa asal Indonesia berhasil mempersembahkan penampilan yang mencuri perhatian, meskipun hanya sepuluh menit. Kami memakai pakaian tradisional daerah masing-masing seperti batik, kebaya, pakaian khas aceh, betawi, dan lain-lain. Penampilan diawali dengan perkenalan tentang Indonesia dilanjutkan dengan tari piring, tari saman, dan tari poco-poco. Menjelang akhir acara, kami diminta untuk kembali menampilkan tarian Poco-Poco, sambil diikuti kerumunan penonton yang antusias mengikuti langkah demi langkah. Dan hampir setiap orang yang datang mengatakan “great performance”.
<span>1 Juni</span>
Sebelum berangkat workshop, saya bersama teman saya pergi belanja bersama host kami untuk persiapan running dinner yang akan dilaksanakan mulai jam 8 malam. Selanjutnya berangkat ke tempat workshop. Workhop kali ini diisi dengan kuliah umum dari salah satu pakar hukum tentang paten di Jerman dan di Meksiko yaitu Anne Kristin. Kami diskusi tentang hukum paten internasional serta perjanjian-perjanjian internasional. Ketika saya bertanya pada beliau, Anne Kristin sangat tertarik saat tahu saya dari Indonesia, beliau tahu bahwa Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam dan sudah seharusnya untuk dilindungi sebelum dibajak oleh orang lain. Workshop selesai sekitar pukul 15.30, lebih awal dari biasanya karena akan mempersiapkan untuk running dinner.
Untuk running dinner ini, saya dan host saya mendapat bagian membuat makanan penutup yaitu pudding. Disamping itu saya membuat omlet dan sambal ulek khas Indonesia. Running dimulai pukul 8 malam. Sebelumnya kami berkunjung ke suatu rumah mahasiswa untuk makan malam bersama disana. Tidak hanya kami saja yang hadir disana tetapi 2 kelompok lain dari rumah yang berbeda sehingga sekitar 20 orang berada di rumah tersebut. Kami dapat bertukar cerita dengan mahasiswa dari negara lain dan kebanyakan peserta sangat tertarik ketika saya mengatakan saya dari Indonesia. Saya pun tak lupa membagikan souvenir khas Indonesia seperti miniatur angklung. Banyak pertanyaan yang terlontar dari mereka seputar angklung. Apa itu angklung, bagaimana cara memainkannya, dan sebagainya hingga mereka mengatakan suatu saat ingin melihat angklung yang sebenarnya. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan pun semakin bertambah saat mereka melihat beberapa gambar yang terdapat dalam buku pariwisata yang saya bawa dari Indonesia
Pukul 9 malam kami melanjutkan running dinner ke apartemen keluarga Jerman lainnya. Disana disediakan spageti. Disini pun tak kalah menariknya. Ada beberapa dari mereka yang bercerita bahwa mereka pernah ke Indonesia. Betapa semangatnya mereka saat menceritakan pengalamannya di Indonesia. “Indonesia is beautiful country”, itulah yang terlontar dari mereka. Saya kenalkan daerah-daerah pariwisata yang ada di Indonesia, dan budaya-budaya di Indonesia. Selain itu, tak sedikit orang yang bertanya tentang Islam. Mulai dari “kenapa saya pakai kerudung? kenapa dalam Islam tidak boleh makan babi? Kenapa tidak boleh minum bir?konsekuensi-konsekuensi di islam seperti apa?”, dengan senang hati saya terangkan dalam bahasa yang ringan agar mudah dimengerti. Selanjutnya kami segera kembali ke rumah kami untuk menyambut tamu lain dari kelompok lain untuk makan malam di rumah host saya. Tibalah pukul 10 malam, tepat jadwal 2 kelompok running dinner lainnya dengan orang yang berbeda-beda lagi berkunjung ke rumah host saya, mereka terdiri dari orang-orang yang berasal dari Jerman, Cina, Palestina, dan lain-lain. Saya, teman saya, dan host saya menyambut mereka. Kemudian kami menyajikan makanan hasil masakan kami. Disini nama Indonesia pun kembali dipuji-puji saat mereka makan omlet dan sambal yang kami buat. Setiap orang yang datang memuji-memuji bahwa makanan Indoneisa begitu enak hingga keesokan harinya host saya meminta untuk membuat omlet seperti yang saya buat. Saya pun semakin bangga menjadi orang Indonesia. Lagi-lagi Indonesia menjadi perhatian banyak orang. Mereka bertanya pada saya tentang Indonesia, bagaimana membuat makanan Indonesia yang sedang mereka makan itu? bagaimana isu tentang teroris? Tsunami? bagaimana perkuliahan saya? dan lain-lain. Disini pun kesempatan saya dan teman saya untuk mengenalkan Indonesia lebih jauh dan menjelaskan bahwa teroris itu hanya perbuatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, jadi jangan takut untuk berkunjung ke Indonesia. Mereka begitu antusias bertanya tentang Indonesia. Diskusi dilanjutkan dengan masalah palestina dan Israel karena pada running dinner kali ini ada mahasiswa dari Palestina. Saya pun banyak mendapat informasi dari mahasiswa itu. Diskusi begitu menarik sampai tidak sadara waktu sudah pukul 12 malam.
Kebanggaan saya sebagai orang Indonesia pun semakin bertambah saat host saya mengatakan bahwa “dulu saya belum pernah tahu yang namanya negara ini dan tidak pernah melirik negara ini [sambil menunjuk ke negara Indonesia pada peta dunia yang ada di rumahnya], tapi sekarang saya tahu negara ini, negara yang sangat cantik, dengan orang-orang yang begitu ramah”.
<span> </span>
<span>2 Juni</span>
Workshop kali ini dimulai dengan diskusi tentang bagaimana seharusnya dalam menyelesaikan kasus “Biopiracy and intellectual property” salah satunya yaitu negosiasi antar negara-negara di dunia. Selanjutnya kami simulasi negosiasi ada yang bertindak sebagai negara maju yang ingin menukar uang atau tekhnologinya dengan kekayaan hasil penelitian atau kekayaan biologis dari Negara berkembang. Pada workshop ini dibahas cara-cara konkrit setelah negosiasi dianataranya yaitu benefit sharing. Sore hari, acara festival dilanjutkan dengan acara forum. Acara ini disediakan untuk semua peserta GrIStuF, pada acara ini mendatangkan dosen-dosen dan pejabat setempat untuk menbicarakan tentang bagaimana kita sebagai bagian dari dunia harus memiliki kemampuan merespon dan kemampuan bertanggung jawab sebagai kaum intellektual. Namun sangat disayangkan pada forum ini, tidak semua peserta hadir tetapi yang menjadi kebanggan tersendiri yaitu panitia merasa bangga karena yang paling banyak berpartisipasi di forum ini yaitu peserta dari Indonesia.
<span>3 Juni</span>
Tiap hari begitu menyenangkan mengikuti workshop meski pembahasan semakin hari semakin berat. Dengan team leader yang pintar membawa workshop sehingga workshop tidak membosankan, ditambah dengan teman-teman workshop dari berbagai negara dengan karakter yang berbeda pula, terkadang kita saling tukar bahasa. Workshop kali ini dilaksanakan di pelabuhan karena jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat workshop sebelumnya. Dan pada hari itu cuaca cerah sekitar 20 derajat celcius. Dan bagi mereka suhu tersebut sudah panas. Pada diskusi kali ini saya membuat artikel tentang workshop ini yang telah dilaksanakan selama beberapa hari yang lalu yang akan dimuat di tabloid internal GrIStuF. Di pelabuhan begitu penuh dengan warga Jerman yang sengaja duduk dibawah terik matahari karena bagi mereka cuaca cerah seperti ini begitu jarang. Saya ceritakan bahwa di Indonesia tiap hari matahari bersinar dan mereka begitu tertarik saat saya ceritakan. Saat itu semakin menambah rasa syukur saya karena tinggal di negara yang suhunya tidak terlalu dingin meski terkadang sering mengeluh kepanasan akibat sinar matahari, padahal di belahan dunia lain orang-orang sangat menanti-nanti sinar matahari.
Ship and Chill
Setelah workshop hari ini selesai, sore hari dilanjutkan dengan kegiatan “Ship and chill”. Acara ini diikuti oleh semua orang peserta GrIStuF. Empat perahu disediakan. Tiap perahu sekitar 50 orang. Semua peserta turut berpartisipasi. Kami berlayar bersama melintasi pelabuhan itu sesekali sambil mendayung, dengan kode hitungan “one”, “two”, sesekali hitungan satu dan dua itu berubah jadi bahasa Jerman “eins”, “zwei”, atau bahasa Rusia, Cina, dan sesekali saya pun memakai bahasa Indonesia “satu”, “dua”, diikuti oleh teman-teman yang lain. Terkadang antar perahu satu dan perahu yang lain saling balapan semakin menambah keramaian di sore hari itu.
Pirate Diploma
Setelah acara ship and chill dilanjutkan dengan acara santai bareng di pelabuhan itu. Disana terdiri dari musik-musik, games dan sekaligus makan malam. Pirate diploma merupakan salah satu games yang terdiri dari beberapa pos, ditiap pos terdapat beberapa tantangan yang berbeda-beda dan sangat menarik. Terdiri dari 9 pos, bila semua pos telah dilalui maka kita dianggap lulus dan mendapat gelar pirate diploma. Yang berpartisipasi dalam games ini hanya sedikit. Partisipan terbanyak pada games ini dari Indonesia, peserta yang lain dari Italy, Belanda, Jerman, sedangkan kebanyakan peserta menghabiskan waktu ini dengan ngobrol-ngobrol atau sekedar mendengarkan musik yang dimainkan di panggung di atas kapal laut. Games pun semakin menarik saat kami mencari pos-pos dengan menyusuri pelabuhan dan kerumunan orang-orang yang sedang duduk santai. Diakhir games saya dan beberapa teman lainnya dinobatkan sebagai pirate diploma karena telah lulus di semua pos.
<span>4 Juni</span>
Pertemuan workshop kali ini tidak membahas lagi tentang biopiracy. Evaluasi selama workshop dan selama festival sekalian jalan-jalan jalan di pelabuhan dan pembagian sertifikat. Disini satu sama lain saling memberi surat yang berisi pesan singkat yang dimasukkan ke dalam amlop untuk kemudian dibaca setelah sampai ke negara masing-masing. Cukup sedih detik-detik perpisahan ini.
<span>5 Juni</span>
Hari terakhir festival ini dimulai dengan presentasi tiap kelompok workshop. Tiap kelompok workshop mendirikan stand dari mulai workshop sosial, politik, dan sains, dan setiap orang dari workshop lain mengunjungi stand workshop lainnya, disini kami bertukar informasi. Selanjutnya bersama-sama parade keliling Greifswald dan setelah parade keliling kota, sejumlah peserta meminta kami mengajari mereka gerakan Tari Saman yang sempat kami tampilkan. Tibalah saat perpisahan yang diadakan di laut Baltik. Disana kami saling berpamitan antar peserta dari Indonesia juga dengan peserta dari negara lain. Saat ini juga team leader saya mengatakan bahwa dia dan teman-temannya menjadi tertarik ke Indonesia dan akan menghabiskan hari liburnya di Indonesia.
<span>6 Juni</span>
Waktu kepulangan. Penerbangan dari Hamburg, pemberangkatan Greifswald-Hamburg sekitar 3 jam dengan menggunakan kereta bersama beberapa teman-teman Indonesia lainnya. Sampai di Hamburg, kami berpisah, sebagian teman saya pergi ke tempat teman yang berada di Hamburg. Ada pula yang dijemput oleh saudaranya yang tinggal di Hamburg. Tinggal saya dan kedua teman saya dari UGM. Kami tinggal di salah satu teman kami dari Indonesia yang keluarganya tinggal di Hamburg. Disinilah akhirnya kami menemukan makanan Indonesia setelah dua minggu ini tak merasakannya. Setelah harus bersabar dengan menu makan siang yang selama festival tiap hari itu 2 buah roti keras yang sampai membuat saya sariawan dan sakit gigi dengan sayuran yang tak jelas rasanya dan youghurt yang tak pernah saya makan untuk penjagaan lambung saya karena takut keasaman. Yang akhirnya saya lebih berlari ke donner kebab..hmmm makanan favorit kami…atau masak mie rebus yang saya bawa dari Indonesia..
<span>7 Juni</span>
Keliling kota Hamburg dan pergi ke airport untuk penerbangan ke Indonesia pada pukul 15.30. Rasanya tak mau berpisah dengan negara ini. Sampai saya harus lari-lari pergi ke airport karena batas waktu untuk check in sudah sangat telat. Untunglah saya masih bisa untuk check in dan area disana sudah sangat sepi. Bertemulah saya di pesawat dengan ketiga teman-teman peserta Indonesia yang sempat berpisah karena berbagai kepentingan.
<span>8 Juni</span>
Dini hari tiba di Dubai. Negara ke-4 yang kaki saya langkahkan. Barulah disini terasa sudah dekat dengan Indonesia ketambah lagi setelah melihat kerumunan-kerumunan TKI yang akan pulang ke Indonesia. Begitu banyak. Cukup membuat hati terenyuh. 15.30 sampai Bandara Soekarno-Hatta, dan siap meluncur ke Jatinangor.
Betapapun Indahnya negara lain, betapapun disiplinnya negera lain, betapapun nyamannya negara lain, betapa mudahnya fasilitas disana dan bagaimanapun lucunya anak-anak di Jerman rasa kangen saya terhadap Indonesia tidak pernah hilang selama saya disana, kangen akan suasana di Indonesia, orang-orang Indonesia, makanan Indonesia (ikan lele dan ayam penyet, bakso, soto sulung, kwetiau, tahu pedas, nasi gila, dll), seringkali lagu-lagu Indonesia pun sering saya dendangkan untuk mengobati rasa kangen saya terhadap Indonesia…
Indonesia tanah air beta
Pusaka Abadi nan jaya
Indonesia Sejak dulu kala
Tetap di puja2 bangsa
Disana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Sampai akhir menutup mata
Atau lagu-lagu yang sering terdengar di kampus…
Kan kutunjukan padamu
Kan kubuktikan padamu
Rasa bangga dan baktiku
Almamater
Meski kan kutinggalkanmu
Meskiku jauh dari mu
Hatiku slalu padamu Almamater
Dengan bangga saya selalu katakan saya orang INDONESIA..yang selalu mencintai INDONESIA...memang belum banyak yang dapat saya beri untuk indonesia dan sebagai intelektual muda sayasadar saya tidak mempunyai banyak sumber daya, selain idealisme dan tekad untuk maju.
ruar biasa
BalasHapus