Sabtu, 27 November 2010

Cerita Tentang Seorang Teman


Berita pagi ini tentang kematian seorang TKW (Kikim Komalasari) akibat kekerasan yang dilakukannya oleh majikannya di Arab Saudi, mengingatkan saya akan seorang teman yang bertemu 5 bulan yang lalu.

Dubai, 8 Juni 2010
@Pesawat Emirates

Cukup mengagetkan, Bandara International Dubai begitu padat dengan para TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Kursi-kursi tempat menunggu begitu penuh hingga tidak sedikit para TKI duduk di lantai dengan barang-barang yang kami bawa. Terlihat wajah-wajahnya yang begitu lelah dan begitu semangat menanti saat-saat naik pesawat untuk pulang ke Indonesia. Beberapa dari mereka melirik saya saat saya dan teman-teman berjalan melewati mereka. Mereka cukup tahu saya orang Indonesia dengan jaket yang saya pakai bergambar bendera Indonesia di lengan jaket. Sesekali kami bertegur sapa dengan salah seorang dari mereka.  “Ngelihat para TKI itu, jadi ngerasa udah semakin dekat ke Indonesia nie” kata salah satu teman saya. “Iya, itu mereka pada duduk di bawah, kasihan sekali, menunjukkan banget orang Indonesia yang menghawatirkan” sahut teman lainnya. Tibalah saat Boarding Pass pesawat yang menuju Indonesia, para TKI berlarian menuju antrian, dan antrian pun sangat penuh dengan TKI, hingga saya beserta teman-teman lain menunggu kosongnya antrian. “Biarkan kami saja dulu” sahut saya pada teman-teman.

Saat masuk pesawat, saya dan teman-teman berpencar karena tempat duduk kami yang berjauhan. Seperti biasanya, para pramugari menyambut kedatangan para penumpang saat masuk pesawat dengan penuh senyuman. Ada yang beda kali ini. Saat saya telah masuk, saya disambut satu senyuman lagi, kali ini bukan pramugari tetapi seorang perempuan yang sepertinya tidak jauh beda umurnya dengan saya yang telah duduk di deretan nomor kursi saya.

Dengan penuh senyuman, perempuan itu menyapa saya,  “Mbak, disini bukan sama saya duduknya?, saya nomor 29”

“Iya,,mmm, nomor kursi saya 28, nomor 28..29..30.., gitu kan ya urutannya?” jawab saya pura-pura menghitung deretan nomor kursi yang sebenarnya saya tahu dia salah duduk, ya sedikit pura-pura bertanya biar dia tidak malu, membiarkan dia menyadari sendiri kalau dia ternyata menduduki kursi saya. Kalaupun dia tidak menyadarinya biarkan saya yang duduk di kursi dia, pikir saya.hehe

“Eh iy, 29 itu disini, (kata perempuan itu sambil nunjuk kursi ke sebelahnya). “Maaf mbak”.

“Iya ga apa-apa”, jawab saya sambil tersenyum.

Hmm…cukup lama waktu menuju Indonesia, saatnya memenuhi waktu tidur yang selama sekitar 2 minggu cukup tercecer karena jadwal kegiatan yang begitu padat saat konferensi dan juga musim Summer di Jerman yang membuat malam menjadi begitu sangat singkat.
Saatnya pakai headset, penutup mata, dan memanfaatkan label “don’t be disturbed” yang sudah tersedia di pesawat.

Headset sudah terpasang, penutup mata siap dipasang, dan label hampir saya tempel, tetapi tiba-tiba terdengar seseorang disamping saya bertanya:

“Dari mana mbak?” , tanya perempuan tadi.
“Saya dari Jerman”, jawab saya.
“Kok dari Jerman kesini?”, Tanya dia lagi.
“Cuma mampir”, jawab saya.
“di Jerman kuliah mbak?”
“oh nggak, baru selesai ada acara mahasiswa”, jawab saya lagi.
“Oh. Gimana mbak suka tinggal disana?”

Hmm..sepertinya arah pertanyaannya megarah ke ngajak ngobrol. Pikir saya. Saya pun melepas headset.
 “Iy, sangat suka”. Jawab saya.
 “Wah kayaknya bagus banget ya mbak negara Jerman. Mbak sangat beruntung bisa mengikuti kegiatan yang kaya gitu. Tidak seperti saya, hanya seorang TKW”.
Saya hanya tersenyum, dari sana kami berkenalan. Tapi saya lupa namanya, sebut saja nama samarannya Een. Berasal dari Bekasi. Een, seorang TKW berumur 25 tahun dan belum menikah.
“Huh, sampai jumpa negeri Arab karena saya tidak akan pernah kembali lagi”, sahutnya.

Saya kaget mendengar ucapan itu. “wah kenapa kamu bilang seperti itu?, saya suka melihat pemandangan dubai. Apalagi di malam hari, begitu sangat cantik”.

“Iy, Dubai dan Arab memang kota yang sangat cantik, tapi pengalaman saya disini tidak secantik kota ini”.

“Saya seorang TKW, tetapi sekarang saya ingin bekerja di negara saya saja, ingin mengolah tanah pertanian bapak saja”, jawabnya.

Tiba-tiba, een bercerita tentang dirinya. Setahun yang lalu, rumah een tampak hangat. Ibu dan bapaknya seorang petani yang sangat lemah lembut ke semua orang. Adiknya yang masih kecil berumur sekitar 6 tahun. Usia saat-saat menyiapkan untuk sekolah dasar. Een seorang yang berbakti dan dia pun membantu orang tuanya ke sawah di sela-sela sekolahnya. Dia tamatan SMA. Keterbatasan orang tuanya tidak mempunyai dana untuk menyekolahkan een sampai ke tingkat perguruan tinggi. Mendengar cerita tetangganya yang menjadi TKW di Arab Saudi, Een tertarik untuk mengikut jejak tetangganya itu  dengan harapan dapat menambah pendapatan keluarga.
“Kamu bener-bener akan pergi En” kata bapaknya een.

“Iya pak, Een akan baik-baik saja” Een melihat raut wajah orang tuanya itu yang tampak khawatir. Dengan kegigihan een, akhirnya orang tuanya itu mengizinkan Een pergi untuk menjadi TKW.

Setelah mengurusi semua administrasi, perlengkapan, dan juga mengikuti pelatihan, Een berangkat ke Arab bersama beberapa TKW lainnya, termasuk temannya.

Bagi Een, perjalanan ke luar negeri ini merupakan pengalaman yang pertama. Een ditempatkan di sebuah keluarga yang sangat kaya. Seorang lelaki muda, tinggi, hidung mancung, dan jenggot yang tidak terlalu panjang mendekati Een ketika di kantor TKW di Arab Saudi. Dengan menggunakan bahasa Arab, lelaki itu mengajak Een untuk segera pergi ke rumahnya. Dia majikan Een. Lelaki itu tidak banyak bicara saat di jalan menuju rumahnya. Hanya beberapa pertanyaan yang dilontarkan. Seperti asal tinggal, usia, dan status. Tibalah di suatu rumah yang cukup luas, dengan taman yang cukup luas. Een masuk ke rumah itu mengikuti langkah majikannya dan masuk ke kamar yang disediakan di dekat dapur. Een mulai membenahi barang-barang, melihat daerah sekitar, merasakan panasnya udara Arab, merasakan suasana baru yang belum pernah ia temui.

“Kenapa kamu bawa orang Indoneisa kesini?” Een terkaget tiba-tiba nada meninggi terdengar sampai ke kamar Een.

“Saya ingin orang Filipina, kembalikan lagi dia”.

“Tidak ada orang Filipina, sudah pada diambil oleh keluarga lain”, kata lelaki itu.

Tak lama kemudian suara itu tiba tiba berhenti.  Een jadi terpikirkan kenapa ibu itu menyuruh anaknya untuk kembalikan Een, kenapa tidak mau orang Indonesia. Een pura-pura tidak mendengar. Tiap hari, Een bekerja keras, dari subuh hingga larut malam, dari mulai urusan rumah tangga sampai bulak balik memanggul kayu-kayu dari gunung ke rumah majikannya yang jaraknya cukup jauh.

Setelah beberapa hari Een bekerja di rumah itu, dia mendapat kabar kalau adiknya akan disunat dan keluarganya akan mengadakan syukuran. Rasa sedih timbul dalam hati Een karena dia merasa terasing di rumah itu meski terkadang een sering bertukar cerita dengan sesame TKW ketika mereka bertemu saat belanja di pasar.  Een merasa sedih karena tidak bisa menghadiri acara sunatan adiknya yang masih kecil. Dia hanya bisa mendoakan dan memandangi foto keluarganya yang sudah lusuh itu.

Rasa lelah dan capek terasa setiap harinya karena kerja yang sangat  keras bahkan sampai memindahkan lemari yang cukup besar. Sampai tangan Een kentob. (Een menunjukkan tangannya pada saya, sangat menghawatirkan. Terlihat dari kerasnya kulit yang kentob di tangan itu menandakan beratnya beban yang dia bawa. Tak seperti kulit manusia. Tapi bagaikan kayu yang kentob dipukul dengan palu, bukan lebay, ini kenyataan). Een pun terus melanjutkan ceritanya, dan label “don’t be disturbed” yang sedang saya pegang pun saya sobek. Tak jadi saya tempel.

Tak jarang majikan yang perempuannya itu menyuruh Een untuk mengundurkan diri karena dia tetep ingin pembantu dari Filipina. Dia merasa tersiksa hati dan raganya. Tapi apa boleh buat, ini sudah keputusan dia sendiri dan harus menanggungnya sendiri.

Tibalah H-1 acara sunatan adiknya Een. Rumah Een tampak ramai dipenuhi saudara dan para tetangganya. Makanan-makanan sudah dipersiapkan tak lupa kue tar sederhana yang diatasnya ada patung seorang anak laki-laki yang disunat. Semua riang gembira. Siang itu, bapaknya Een pergi ke ke desa lain karena ada beberapa undangan yang belum dikasih. Hujan deras menyelimuti siang itu.

Een begitu rindu kepada keluarganya. Hingga suatu hari dia meminta izin untuk pulang dulu ke Indonesia untuk mengunjungi keluarganya. Rasa kangen yang begitu memuncak setelah setahun tidak pulang. Een pulang dengan wajah gembira membayangkan keluarganya, rumahnya yang sangat sederhana, teman-teman di kampungnya, dan pesawahan di kampungnya.

Tuk..tuk..tuk..Een mengetuk pintu rumahnya yang tampak sepi. Jarang-jarang jam segini tampak sepi, biasanay jam segini rumah ramai dengan penggorengan ibunya yang sedang memasakan makan siang untuk bapaknya dan juga mentimun dan hasil kebun lainnya yang sedang dicuci oleh bapak dan adiknya.
“Assalamualaikum”
“Ibu..Bapak..!!!”, seru Een dengan rasa ketidaksabaran ingin bertemu dengan kami.
Trek, suara kunci dibuka. Keluarlah ibu Een. Ibunya tampak sejenak memicingkan mata memastikan siapa yang sedang dilihatnya. Dia tampak terkejut saat ibu itu menyadari kalau anaknya yang pergi jauh kini di depan mata. Sengaja Een tidak memberitahu kedatangannya dengan maksud memberi kejutan kepada keluarganya.
“Een?”
“Ibu!!”
“Ini Een?”
“Iy, ibu, ini Een”
Langsung mereka saling berpelukan. Dan ibunya Een mempersilahkan masuk. Adiknya langsung menghampiri. Sambil membawa barang bawaanyanya, Een bercerita tentang pengalamannya. Tiba-tiba Een teingat akan bapaknya.

“Ibu, bapak kemana”

”Oh bapakmu lagi pergi En”
“oh”

Een kemudian bers-beres kamar yang dulu menjadi kamarnya.
Keesokan harinya een berkeliling kampung. Bersapa dengan para tetangganya.
Sudah 3 hari Een pulang kampung, tapi bapaknya tak kunjung pulang.
Suatu malam Een, ingin menanyakan kepada ibunya kemana bapaknya pergi, keluar jawa kah? Tetapi malam itu ibu Een tampak sudah tertidur pulas.

“Een, jaga dirimu ya nak” wajah bapaknya dan suaranya muncul di mimpi Een. Terasa sangat dekat. Een langsung terbangun. Pagi-pagi Een langsung bercerita tentang mimpiny itu kepada ibunya. Tiba-tiba ibunya menangis. Dan langsung meninggalkan Een. Een merasa bingung.

“Kemanakah bapak perginya?, setega itukah bapak meninggalkan kami? lalu, kenapa ibu menangis? trus kenapa beberapa tetangga saat melihat Een itu menangis?” apakah mereka kasihan karena Een harus kerja sampai ke Arab?” pikir Een sambil tampak kebingungan.

Een berusaha berfikir positif kepada bapaknya yang pergi sudah lebih dari 5 hari itu.  Een pergi ke rumah saudaranya ingin menanyakan perihal bapaknya.

“Bapak pergi kemana ya? Tumben bapak pergi cukup lama. Padahal belum pernah bapak pergi sampai 5 hari tanpa ibu?” kata Een kepada saudaranya. Saudaranya langsung terdiam.

“Kenapa diam? Kenapa setiap orang yang Een tanyain kemana bapak kok pada diam dan akhirnya menangis? Termasuk ibu. Sebenarnya ada apa? Apakah bapak meninggalkan ibu? Bapak pergi kemana?” tak kuasa saudaranya meneteskan air mata.

“Bapakmu…bapakmu…”

“Bapak kenapa bu? Bapak pergi kemana?”

“Bapakmu sudah tiada” kata ini membuat een merasa bingung

“maksdunya?”

“Bapakmu pergi untuk selamanya, bapakmu meninggal” Een langsung terdiam, tak bisa berpikir apa yang barusan dia dengar. Rasa kaget yang luar biasa membuat dia merasa sesak.

“Kenapa dengan bapak?”

Dulu, saat adikmu akan disunat, bapakmu sangat semangat, mulai dari menyiapkan makanan, baju adikmu, sampai nyebar undangan. Hari sebelum acara sunatan, bapakmu pergi ke desa lain untuk mengantarkan undangan yang masih ada beberapa lagi. Bapakmu begitu semangat mengantarkan undangan meski saat itu hujan deras dan dia rela jalan kaki menembus beceknya tanah karena air hujan. Saat di jalan, ada motor yang sangat kencang menabrak bapakmu yang sedang nyebrang. Bapakmu tak sempat dilarikan ke rumah sakit. Dia langsung meninggal dunia” cerita saudaranya itu.

“Bapak….!!!” Sambil menangis, Een teriak.

“Kenapa dulu tidak ada yang memberitahu Een?’ Kenapa semuanya seakan-akan tidak ada apa-apa?” sambil terisak-isak.

“Karena kami khawatir kamu disana menjadi sedih” Een pulang ke rumahnya dengan lemas hingga dia diantar oleh saudaranya. Ibunya sedang menanti Een disana dengan wajah yang sedang sedih.

“Ibu…”. Ibunya sedang membereskan baju-baju bapaknya sambil menangis.

Beberapa hari kemudian, Een kembali ke Arab Saudi  lagi.  Kejadian bapaknya membuat keyakinan dia semakin kuat untuk bekerja di Arab Saudi karena dia harus membiayai keluarganya.

“Tiap hari saya bekerja dari jam 2 malam sampai jam 12 malam lagi bahkan terkadang saya tidak ada waktu untuk tidur.  Tulang-tulang  terasa rapuh. Semua dikerjakan bagaikan kuda yang dipaksa dipacu.    Hampir tiap hari saya mendapat cacian dari majikan saya. Belum selesai mengerjakan ini, disuruh mengerjakan itu, sambil ngedumel kerjaan saya tidak bagus. Padahal saya sudah berusaha keras. Dan sering sekali saya disuruh mengundurkan diri karena dengan terang-terangan majikan saya mengatakan kalau dia ingin TKW dari Filipina yang katanya kuat-kuat dibandingkan TKW Indonesia. Majikannya itu sering membanding-bandingkan saya dengan salah satu TKW majikan lain dari Filipina. Padahal orang yang sering dibanding-bandingkan dengan saya itu cenderung kasar, apalagi ke anak-anak, sering mukul ke anak majikannya saat majikannya tidak ada, melimpahkan pekerjaannya ke teman saya yang dari Indonesia, tetapi majikannya tidak mengetahuinya, tak ada yang berani mengadu, karena toh saat kami mengadu, majikan akan membela mereka”.

“Hingga tak tahan lagi, akhirnya saya memutuskan untuk berhenti jadi TKW dan ingin menjadi petani saja, mengolah sawah dan kebun peninggalan bapak saya meski uang yang dihasilkan sedikit, tapi saya cukup tenang, tak dihantui rasa takut dari menit ke menit, dan saya pun mengumpulkan dana untuk pulang dan membayar tiket pesawat” Een menutup cerita pribadinya itu seiring dengan datangnya pramugari menawarkan minuman.

“Semoga kamu selalu diberikan yang terbaik ya En” kata saya.

“terima kasih, kamu sangat baik sekali, maaf jadinya saya tadi malah menceritakan pribadi saya”
“oh tidak apa-apa”, kata saya.

“Saya senang bertemu dengan mbak, selamat berjuang ya. saya akan mendoakanmu semoga kamu berhasil dan mengharumkan negara kita ini. Saya bertumpu padamu” kata Een.

“Terima kasih Een atas doanya, kita saling mendokan”. Tak terasa air mata saya mulai menetes. Begitu terharu. Tak terbayangkan jika saya berada di posisi Een. Saya yang sebelumnya begitu merasa bangga sepulang dari konferensi karena merasa nama Indonesia begiu dipuji-puji oleh mahasiswa International saat konferensi.

Dan kita mungkin yang sebelumnya begitu merasa sudah cukup dengan pengalaman-pengalaman kegiatan kita di kampus atau di luar kampus, berbagai kegiatan yang kita lakukan, an, yang membuat kita merasa telah berkontribusi.,,, Ternyata PR kita begitu besar di luar sana.

Selesai bercerita, kami pun tertidur pulas.

“Mbak, mbak, maaf mengganggu, itu, pramugarinya bertanya, saya ga ngerti bahasa Inggris mbak”, tiba-tiba saya terbangun dan spontan menjawab apa yang ditanya pramugari itu.

“Mbak, maaf, saya ingin minum, tapi saya ga bisa bilangnya, tolong mintain ya mbak”, kata Een.
“Een mau minum apa?”
“Air putih aza” jawab Een.
Langsung saja saya mintain minum untuk Een. Dan saat itu juga tiba makan siang. Hmm makan siang kali ini sepertinya mengawali saya makan nasi kembali. Saya pun memilih menu untuk makan siang. Sedikit-sedikit saya melirik ke arah Een. Terlihat Een sedang melirik kea rah saya.
“Mbak, makan apa?”
”Hmm..saya makan ini aza”, sambil saya tunjukkan.
“Emang itu apa mbak?”
“Ikan cincang”, jawab saya
“Saya juga sama kaya mbak ya”.
Saya pun memintakan 2 menu yang sama.
“Do you wanna something drink?”, tanya pramugari.
“Yes, just orange juice”, Ijawab saya.
“and you?”,  tanya pramugari ke Een.
Een hanya bengong dan langsung melirik saya.
“Apa katanya?” sambil membisikkan kepada saya.
“Minumnya mau apa?” jawab saya.
“Mbak apa?”
“Jus jeruk”, jawab saya
“Tolong bilangin, saya sama kaya mbak ya”. Jawab Een.

Saya pun tersenyum melihat begitu polosnya Een. Begitu tulusnya Een. Sepertinya tak ada kata gengsi didirinya. Een..een..dibalik sikapnya yang ceria, ternyata begitu banyak pengalaman pahit yang dialaminya. Een..een…cukup menginspirasi saya di hari itu.

Tak terasa sampailah di Bandara Soekarno Hatta. Saya dan Een saling mengucapkan salam perpisahan. Dan saya pun kembali berkumpul dengan teman-teman delegasi Indonesia. Terpampang disana tulisan “Selamat Datang Pahlawan Devisa”. Ya, inilah sambutan untuk Een dan teman-temannya yang pantas menerimanya meski mungkin tak cukup hanya dengan kalimat itu. Lirih saya dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar